Pengalaman yang
dinamis, penuh rintangan, menggelitik emosi bahkan tak jarang menggerus fisik
memang layak utk dikisahkan kembali. Karena akan selalu ada hikmah di sana,
meski tak jarang baru disadari ketika pengalaman itu telah terlampau jauh pergi
digilas oleh rutinitas sehari-hari. Begitu pula kisahku kali ini. Dalam setting
pagi hari Yogyakarta yang cukup menegangkan, hingga akhirnya aku bisa duduk
manis dalam sebuah gerbong kereta sambil menikmati indahnya pemandangan dan pengalaman pertama menaiki kereta api di Yogyakarta.
Ada banyak hikmah yang tumpah ruah dalam setiap letak-letik dan detak-detik
perjalanannya. Siap untuk diolah menjadi untaian kalimat yang sayang untuk
dilewatkan. Setidaknya bagi diriku pribadi dan kawan seperjalanan. Dan inilah kisahku.
Ini tentang pemenuhan janji untuk silaturrahim ke rumah
seorang sahabat di Kutoarjo, Jawa Tengah.
Meluangkan waktu di tengah-tengah himpitan deadline tesis, persiapan Idul Adha dan rasa rindu akan kampung
yang mulai bermunculan. Kereta api, sarana
transportasi favorit lintas kabupaten/kota pun menjadi pilihan. Namun rencana
tak selamanya sesuai harapan. Pukul 6 pagi
kami berjanji untuk berkumpul di stasiun karena 27 menit berikutnya kereta akan
berangkat. Hingga menjelang keberangkatan, masih menyisakan
tiga orang yang tak kunjung datang.
Para penumpang telah ramai mengantri memasuki jalur kereta ketika seorang lagi
menyusul datang. Ku putuskan untuk meninggalkan dua yang
tersisa dan mengantri untuk mengejar gerbong kereta. Tiba giliran verifikasi
tiket, dengan tenang si petugas berkata, “Maaf
keretanya baru saja berangkat.”
Seperti petir di pagi hari, tiada hujan tiada mendung. Rasa-rasanya baru saja
pemberitahuan kedatangan kereta api disampaikan, seketika itu pula ia pergi
begitu saja. Tanpa panggilan, tanpa menunggu, meski untuk seseorang yang jelas-jelas di antrian verifikasi tiket. Hampir-hampir rencana silaturahim yang dirancang berantakan. Ah, seandainya kereta tau betapa pentingnya keberangkatan kali
ini.
Nyatanya kereta tak bisa disamakan dengan pesawat
udara, dimana setiap penumpang yang belum hadir dipanggil berkali-kali dan
ditunggu. Meski hanya 8000 rupiah,
namun kereta punya prinsipnya sendiri. Yang terlambat, yang tertinggal gerbong
kereta. Seolah tanpa ampun, begitu kejam dan tak berperasaan, khususnya bagi
diriku yang tinggal beberapa langkah lagi dari gerbong kereta. Namun begitukah
sejatinya gerbong kereta? Atau justru aku yang memang lembek dan lambat dalam
mengatur langkah, menghitung waktu, dan memperkirakan keadaan yang tak tentu.
Karena kereta api hanya menjalankan standar kerjanya membawa gerbong penumpang
sesuai jadwal, tanpa peduli apa, mengapa dan bagaimana.
Namun ada sekelompok manusia semacam diriku yang tak mampu
mengimbanginya sehingga mesti tertinggal dengan tragis. Benar, tragis bagi diriku yang ditinggal kereta
sepersekian menit tanpa memiliki pengetahuan dan pengalaman seperti itu sebelumnya.
Dampaknya adalah keterlambatan dan biaya perjalanan yang diluar perkiraan.
Benarkah dunia ini begitu kejam dan keras seolah setiap tujuan dan harapan begitu sulit untuk diwujudkan? Ataukah aku yang terlalu manja dengan segala kemudahan yang ada? Ataukah rasa malas yang menjadikan setiap persiapan
menjadi sekedarnya, sehingga begitu
nampak kerapuhan dan ketidakprofesionalan? Ataukah aku
yang telah terjebak pada standar keseriusan yang keliru? Ataukah ketidakmampuanku
beradaptasi dengan perubahan yang membuatku tersisihkan? Karena keadaan dan kehidupan tak bisa selalu menjadi alasan dan permakluman. Tak ada
cara lain kecuali memperbaiki
cara pandang dan cara bertindak. Kita
bukan satu-satunya orang yang bergerak dalam arus besar ini.
Jika kita tidak bergegas dan serius
dalam menggapai tujuan, maka ada
banyak orang yang siap menggantikan kita. Orang-orang
yang lebih giat dan tujuan begitu nyata dalam binar mata mereka. Orang-orang yang lebih baik dalam kerja,
lebih ikhlas dalam berpayah-payah. Merekalah
yang akan mengisi gerbong-gerbong harapan dan cita meninggalkan
orang-orang yang tak serius dan yang tak peduli dengan tujuannya. Gerbong kesempatan dan peluang
senantiasa datang dan pergi. Diisi oleh para penumpang dengan berbagai motif
dan tujuan. Tak peduli baik atau
buruk, hitam atau putih, mengadili atau menzhalimi, berkuasa atau menindas, asalkan
sesuai dengan waktu dan jurusan. Dan tak peduli seberapa mulia, putih, adil
tujuan kita, jika telah terlambat meski selangkah, ia akan pergi begitu saja.
Tanpa menunggu, apalagi memanggil-manggil nama kita. Lantas, relakah kita selalu menjadi barisan pahlawan kesiangan?
Detak-detik berikutnya,
kami -rombongan yang tertinggal- kembali berpacu dengan waktu. Mencari alternatif rute kereta
dengan harap dapat sampai di tujuan tidak begitu telat dari waktu kesepakatan. Alhamdulillah, kami dapat berangkat meski harus terlambat 50
menit dari perencanaan serta biaya yang lebih mahal. Tapi tak mengapa, karena memang selalu ada harga yang harus
dibayar untuk sebuah kesalahan. Lalu muncul tanya, jika
tertinggal kereta api saja berdampak pada terlambatnya perjalanan dan biaya
yang lebih mahal, maka berapa harga yang harus dibayar atas hilangnya
kesempatan besar dalam hidup kita?
Kutoarjo,
9 Dzulhijjah 1437 H
Form
(Kampung) Dero to Hero
Makna remedial hidup
BalasHapusGood job!