1. Tindak
pidana Korupsi di atur dalam UU Tahun 1999 nomor 31 yang kemudian diperbarui
dengan UU tahun 2001 tahun 2001
2. Terdapat
beberapa komponen dari tindak pidana korupsi: suap dan gratifikasi (pasal 5 dan
6), kecurangan atas apa yang dipercayakan (pasal 7), mencuri harta negara,
melakukan tindakan melawan hukum, menyalahkan wewenang, menimbulkan kerusakan (corrupt) berupa kerugian negara.
3. Upaya
pemberantasan korupsi melalui perundang-undangan telah dilakukan sejak tahuun
1957 dengan dikeluarkannya peraturan militer Prt/PM/06/1957 tentang
Pemberantasan Korupsi, Prt/PM/08/1957 tentang Kepemilikan Harta Benda dan Prt/PM/11/1957
tentang Kewenangan untuk menyita harta yang diduga hasil korupsi
4. Selanjutnya
pada tahun 1958, mengalami pergantian peraturan menjadi Prt/Peperpu/013/1958
tentang Mengusut, Menuntut dan Memeriksa Tindak Pidana Korupsi.
5. Memasuki
Orde Lama pada tahun 1961, Perppu/24/1960 diganti dengan UU tahuun 1961 nomor 1
tentang Mengusut, Menuntut, dan Memeriksi Tindak Pidana Korupsi. Pada aturan
ini kasus korupsi mensyaratkan adanya bukti.
6. Selanjutnya
pada Orde Baru, dikeluarkan UU tahun 1971 nomor 3 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Pada peraturan ini telah diberlakukan uang pengganti, yakni
terpidana dituntut untuk mengganti uang negara sebanyak yang ia nikmati
berdasarkan bukti materi. Sedangkan jika tidak ditemukan bukti bahwa ia
menikmati uang tersebut, maka dikenakan tindak pidana pencucian uang (money laundry). Namun aturan uang
pengganti tersebut belum memiliki ketentuan jika tersangka tidak sanggup
membayar sehingga menjadi masalah baru karena hal tersebut menjadi hutang
kejaksaan terhadap negara.
7. Hingga
akhirnya pada masa Reformasi, UU tahun 1999 nomor 31 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi melengkapi kelemahan aturan sebelumnya. Pada
undang-undang ini telah diatur ketentuan jika terpidana tidak sanggup membayar
uang pengganti, yakni diganti dengan hukuman penjara yang lamanya sebanding
dengan jumlah uang yang ia nikmati.
8. Selain
itu, pada UU tahun 1999 nomor 31 juga mengatur kewenangan Kepolisian, Kejaksaan
dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam mengelola tindak pidana korupsi,
dimana KPK mendapatkan wewenang khusus dibandingkan penegak hukum lainnya.
9. Tidak
hanya tindak pidana korupsi yang jelas-jelas merugikan negara. Tindakan korupsi
yang baru berpotensi merugikan pun termasuk tindak pidana. Hali ini berdasarkan
redaksi undang-undang yang menggunakan kalimat ‘dapat merugikan negara’.
10. Terdapat
10 sektor yang rawan korupsi. Di antaranya yang terbesar adalah pada APBD dan
APBN. Tracking anggaran sektor publik
seperti APBD dan APBN dalam rangka mengidentifikasi tindakan korupsi akan
dijelaskan pada tulisan berikutnya. Karena rawannya tindak pidana korupsi pada
kedua hal tersebut, maka dibentuk T4PD dalam rangka mendampingi pembangunan bak
dari dana APBD maupun APBN.
11. Latar
belakang korupsi di antaranya adalah 1) minimnya pengetahuan tentang hukum dan
2) adanya kepentingan politik. Poin pertama sering terjadi di pemerintahan
tingkat desa, yakni ketika mengelola dana pembangunan desa. Tidak jarang ada
orang-orang yang pintar memanfaatkan ketidakpahaman pemerintah desa untuk
mengambil keuntungan sebesar-besarnya dengan dalih membantu penggunaan dana
bantuan desa. Poin kedua sangat mungkin terjadi apalagi mengingat posisi
Kejaksaan yang berada dibawah tanggungjawab presiden.
12. Tidak
hanya pejabat negara saja yang berpeluang terjerat kasus korupsi, tetapi juga
swasta maupun badan usaha miliki negara. Pihak swasta dapat terjerat korupsi
ketika menyelewengkan dana proyek yang mereka dimenangkan. Adapun BUMN dan BUMD
pada dasarnya modal keduanya adalah berasal dari uang negara.
13. Bahkan
sekedar menghalang-halangi proses penyelidikan atau memberikan keterangan palsu
pun akan dikenakan sanksi, dianggap sebagai Tindak Pidana Berkaitan Tindak
Pidana Korupsi.
14. Modus
operandinya pun bermacam-macam, di antaranya adalah mark up, Fee, Diskon dan Komisi
15. Bagaimana
strategi pemberantasan korupsi? Ada dua cara , 1) Preventif, yakni dengan
penyempurnaan UU, penyempurnaan lembaga dan tata kerja birokrasi, penyuluhan
hukum, dan pemantauan; dan 2) Represif, berupa proses penyelidikan, penyidikan,
penuntutan, upaya hukum, dan pemantauan tindak pidana korupsi.
Disampaikan oleh Ismaya Hera Wardanie, SH., M.Hum
pada Madrasah Anti Korupsi 6 Agustus 2016
Lebih lengkap klik: disini
0 komentar:
Posting Komentar