Selasa, 02 Agustus 2016

FORMAL

0

Mata Kuliah Matematika Model
Dosen Pengampu: Prof. Dr. Marsigit, MA.

Formal merupakan suatu metode dalam menyusun penalaran yang logis, konsisten, terstruktur, koheren, analitik dan ideal. Dalam hal ini logika merupakan hal yang fundamental dalam memahami metode formal. Logika (Beth, 1962) merupakan teori deduktif inferensial yang berkaitan erat dengan konsep himpunan, premis dan modus Ponens. Dalam membangun konstruksi logika, perlu ditetapkan (F) formula-formula (U, V, W, ...) yang merupakan terdiri dari atom-atom (A, B, C, ...) pada suatu himpunan (K). Dengan ketetapan inilah, melalui penerapan modus Ponens, metode Formal dikembangkan hingga diperoleh kesimpulan (Z). Beth (1962) menjelaskan bahwa terdapat tiga konsepsi logika sebagai suatu teori deduksi inferensial, yaitu teori deduksi murni (formalis), semantik, dan aksiomatik. Ketiganya memiliki keterkaitan satu sama lain. Sehingga untuk dapat memahami dan mengembangkan logika secara lengkap dan mudah, kita harus mempelajari ketiganya.
Aristoteles pada awalnya hanya mengenal proposisi yang memiliki nilai benar atau salah, dan entitas linguistik lainnya seperti doa, perintah dan sebagainya tidak memiliki nilai kebenaran. Frege dan Russell memberikan sebuah definisi tentang implikasi yang disepakati ketika anteseden dipahami secara umum bernilai benar dan tidak disepakati jika sebaliknya. Hal tersebut mereka lakukan sebagai upaya dalam menyusun teori yang koheren dalam menarik kesimpulan yang valid. Wittgenstein mengelaborasi sebuah proposisi kalkulus dalam versi semantik yang memiliki sistem otonom sekaligus dapat diterapkan dalam bahasa umum. Lalu Tarski mengonstruk sebuah definisi semantik dari pernyataan yang benar, yakni pernyataan yang cukup secara material dan benar secara formal. Kriteria-kriteria yang muncul dari investigasi ini antara lain sintaks dan semantik di satu sisi, dan kebenaran dan validitas di sisi lainnya. Sintaks dan semantik berkaitan secara nyata dengan forma dan konten (Sinaceur dalam Guerrier, 2008), di mana hal tersebut merupakan isu krusial dalam pendidikan Matematika. Sedangkan kebenaran dan validitas merupakan inti dari proses pembuktian matematis. Sehingga jelas bahwa sintaks dan semantik merupakan kriteria yang lebih umum. Meskipun begitu, sintaks dan semantik memperhatikan kebenaran dan validitas.
A.      Masa Yunani Kuno
Telah diketahui bersama bahwa logika formal bermula dari silogisme Aristoteles yang beliau kemukakan dalam Prior Analytics (Aristote dalam Guerrier, 2008). Sebagaimana Lukasiewicz jelaskan, bagi Aristotle, logika murni merupaka apa yang tersisa ketika material telah disingkirkan (Lukasiewicz dalam Guerrier, 2008). Dalam membangun sistem logika formal, Aristotle, dalam bukunya On Interpretation (Aristote dalam Guerrier, 2008), mengekstrak pernyataan formal dari bahasa yang umum, lalu memberikan suatu bentuk standar dalam mengkuantifikasi pernyataan dan memperjelas perbedaan antara kontradiksi (dimana dua nilai kebenaran yang berbeda dihadapkan,misal setiap A adalah B atau beberapa A tidak B) dan contrariety (oposisi yang lebih radikal yang memberikan kemungkinan kedua pernyataan bernilai salah, misal setiap A adalah B atau tidak ada A yang B). Kemudian dalam the Prior Analytics, Aristotle menawarkan suatu definisi yang akurat tentang silogisme, yang bernama pernyataan kondisional dengan dua premis dan sebuah kesimpulan (semuanya merupakan pernyataan terkuantifikasi) yang mematuhi seperangkat aturan yang presisi. Contohnya, “Jika beberapa dari A adalah B dan setiap B adalah C, maka beberapa dari A merupakan C” (1), atau “jika setiap A adalah B dan beberapa B adalah C, maka beberapa A adalah C (2). Berdasarkan definisi tersebut, Aristoteles kemudian mengelompokkan silogisme menjadi dua kategori: yang mengarah dari kebenaran kepada kebenaran sebagaimana interpretasi A, B dan C pada contoh (1), dan yang mungkin memiliki premis yang bernilai benar dan konklusi yang bernilai salah sebagaimana pada contoh (2). Aristoteles pertama-tama menyatakan bahwa beberapa silogisme jelas kevalidannya, artinya setiap orang akan sepakat dengan fakta yang mempertahankan kebenarannya. Silogisme pertama yang paling terkenal adalah “Jika setiap A adalah B dan setiap B adalah C, maka setiap A adalah C.” Kemudian beliau memberikan beberapa konversi aturan yang tetap menjamin kevalidan silogisme seperti mengganti “beberapa A adalah B” dengan “Beberapa B adalah A” dimana keduanya jelas ekivalen (sinonim). Sehingga Aristotels dapat membuktikan lewat sintaks bahwa beberapa silogisme valid secara logis. Selain itu, untuk setiap silogisme yang dapat disusun dalam sistemnya , dapat beliau buktikan secara sintaksis bahwa hal tersebut valid atau memberikan bukan contoh untuk menunjukkan bahwa hal tersebut tidaklah valid. Dengan menggunakan cara ini, Aristoteles menggunakan proses sintaks dan semantik. Konsekuensinya, beliau membedakan antara kebenaran pada sebuah interpretasi dengan validitas logis. Aristoteles menilai kebenaran sebagai suatu kebutuhan ketika hal tersebut merupakan konklusi dari silogisme yang valid dengan premis yang bernilai benar. Dan membedakannya dengan kebenaran faktual, atau kebenaran yang diperoleh hanya sebagai konsekuensi dari kebenaran lainnya. Meskipun sistem logika formal Aristoteles jelas belum cukup dalam penalaran Matematika, namun ia telah mengembangkan konsep mendasar dari logika yang penting dalam dunia logika modern saat ini, khususnya interpretasi semantik dan turunan formalnya.

B.       Abad ke-19 dan 20
Meskipun logika telah menjadi pusat penelitian para filsuf dan ilmuwan, perkembangan yang spektakuler hanya dirasakan pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Frege dan Russell merupakan sosok utama dalam masa kebangkitan ini. Revolusi yang diperkenalkan oleh Frege meliputi elaborasi terhadap bahasa simbolik, memperkayanya menggunakan bahasa Matematika, dan menerjemahkannya dalam operasi logika (penghubung and kuantor). Dalam tulisannya (Frege dalam Guerrier, 2008), Frege mengekspos proyeknya dalam memperbarui logika agar menghasilkan penalaran matematika yang akurat secara sempurna. Frege berpendapat bahwa bahasa umum tidak dapat mencapai tingkatan akurat (rigor). Frege meyakini bahwa dalam konteks umum pengalaman kita mungkin cukup untuk menghindari banyak kesalahan. Namun hal tersebut tidak berlaku pada kasus yang lebih kompleks seperti Matematika. Selain itu, logika yang dinyatakan dalam bahasa umum tidak cukup untuk menjamin bahwa rantai inferensi tidak terdapat gap/pemisah. Ideografi Frege mampu mengungkap struktur matematika yang terdalam melalui formalisasi perbedaan antar pernyataan tunggal dan umum,  dan dengan menunjukkan cakupan generalisasinya dalam hubungan seperti negasi dan implikasi. Hal ini merupakan suatu yang penting dalam menyelesaikan ambiguitas yang terjadi pada bahasa umum.
Salah satu aspek yang penting dari kontribusi Frege adalah definisi dari implikasi dan negasi (Frege dalam Guerrier, 2008). Beliau mendefinisikan hubungan suatu implikasi “Jika A, maka B” ekivalen dengan “negasi (negasi A dan B)”, dimana  hanya bernilai salah jika anteseden bernilai benar dan konsekuen bernilai salah. Frege menolak keberatan terhadap definisi ini dengan argumen bahwa tidak hanya karena alasan logika sehingga definisi harus bebas dari bahasa umum, tetapi juga tuntutan untuk menyusun jarak yang nyata dari bahasa umum. Sehingga ideografi Frege menampilkan definisi yang murni dari bahasa umum. Definisi yang dikemukakan Frege mirip dengan ‘‘material implikasi’’ yang didefinisikan oleh Russell (dalam Guerrier, 2008), bahwa pasti terdapat hubungan logis antara dua proposisi ketika antesedennya bernilai salah atau konsekuennya bernilai benar. Russell meyakini bahwa konsep alamiah dari implikasi adalah kondisi umum yang menegaskan bahwa setiap materi implikasi (ketentuan proposional) dalam suatu himpunan adalah bernilai benar.
Sejalan dengan teori deduksi murni (Beth, 1962), permasalahan deduktif dicirikan oleh serangkaian K/L dimana pada implikasi, anteseden K merupakan himpunan berhingga dari formula U1, U2, ..., Um  dan sukseden L akan memuat tepat satu formula Z. Untuk melakukan reduksi sehingga diperoleh permasalahan yang lebih sederhana, rangkaian tertutup, hingga menghasilkan deduksi yang diingikan, maka perlu disusun skema reduksi yang berdasarkan pada prinsip heuristik, dimana sebuah premis dalam bentuk implikasi U → V  hanya dapat digunakan pada modus Ponens yang tepat. Sehingga himpunan K menghasilkan kesimpulan Z jika Z dapat diperoleh dari K dengan menggunakan beberapa metode deduksi formal yang memadai, ditandai dengan beberapa persyaratan (i)-(iij) melalui beberapa skema reduksi. Salah satu contohnya adalah dengan menggunakan tablo deduksi tertutup. Konstruksi dari tablo tersebut berdasarkan akhiran dan reduksi dari skema (i) dan (ij). Misalnya, solusi dari permasalahan deduksi rangkaian (A→B, B→C)/A→C. Sebagai premis adalah (1) A→B dan  (2) B→C, dan konklusi adalah (3) A→C. Dari kedua premis dengan skema (ijb) diperoleh premis (4) A. Kemudian dari (3) dan (4) dengan (ijb) diperoleh (5) C. Permasalahan kemudian dibagi dua, (i) dan (ij). Dari (3) dan (5) dengan skema (ijaI) diperoleh (6) A. Sedangkan dari (1) dan (4) dengan skema (ijaI) diperoleh (7) B. Permasalahan kemudian kembali dibagi dua, (i) dan (ij).Dari (1) dan (6) dengan skema (ijaI) diperoleh (8) B. Dari (2) dan (7) dengan skema (ijaI) diperoleh (9) C. Pada tahap ini diperoleh skema tertutup.
Bagaimanapun juga, logika yang terkuantifikasi merupakan ekstensi dari proposisi logis, di mana hal tersebut merupakan jantung dari penalaran matematis. Kesulitan yang lebih besar muncul dari sebuah fakta bahwa proposional logis dikembangkan sebagai suatu sistem aksiomatik berdasarkan sintaks (teorema diturunkan dari penerapan aturan inferensial dalam sistem itu sendiri), sedangkan logika terkuantifikasi yang didefinisikan oleh Frege dan Russell jelas memerlukan perspektif semantik untuk dapat dibawa kepada interpretasi dan isu terkait kuantifikasi. Wittgenstein, melalui elaborasi semantik dari proposisi logis, membuka jalur baru kepada penyelesaian, yang kemudian direalisasikan oleh Tarski dengan definisi semantiknya tentng konsep kebenaran.
Sebagai seorang murid dari Russell and Frege, Wittgenstein mengajukan sistem formal yang dikonstruk menggunakan perspektif semantik dalam tulisannya Tractatus logico philosophicus (Wittgenstein dalam Guerrier, 2008). Tujuan utamanya adalah formalisasi notion dari proposisi, yakni sebagai suatu entitas bahasa yang bernilai salah atau benar. Komponen dari sistem ini adalah variabel proposisi, yang bermakna simbol atau variabel yang dapat diinterpretasikan sebagai proposisi dalam suatu bagian diskursus. Pada teori semantik, himpunan K menghasilkan kesimpulan Z dengan menetapkan terlebih dahulu bahwa setiap premis U dalam K adalah benar dalam penilaian w, sehingga Z juga pasti benar dalam penilaian w. Teori ini mengatur nilai kebenaran untuk setiap formula U dengan ditentukan oleh masing-masing atom A, B, C, ... yang telah ditentukan nilai kebenarannya. Sehingga jika K dan L merupakan himpunan berhingga dari formula U1, U2, ..., Um dan V1, V2, ..., Vn maka premasalahan penilaian dicirikan oleh rangkaian K/L, dimana semua formula pada K bernilai benar dan semua formula pada L bernilai salah (Beth, 1962). Terdapat dua prinsip yang mengatur sistem. Pertama, prinsip bivalensi, bahwa terdapat tepat dua nilai kebenaran dalam sistem. Kedua, prinsip ekstensi, menegaskan bahwa nilai kebenaran dari sebuah kalimat yang kompleks seutuhnya ditentukan oleh nilai kebenaran komponen-komponennya. Tabel kebenaran diperkenalkan untuk mendefinisikan semua distiribusi kemungkinan kebenaran pada sistem. Untuk dua variabel misalnya, terdapat enam belas kombinasi yang mungkin. Di antara kemungkinan tersebut, kita menemukan semua penghubung logika klasik seperti konjungsi, disjungsi, implikasi, dan ekivalensi. Namun, pada masalah penilaian rangkaian (A→B, B→C)/A→C, tabel kebenaran menunjukkan bahwa tidak ada penilaian yang memenuhi. Oleh karena itu, diperkenalkan pendekatan yang berbeda dalam mengatasi masalah penilaian tersebut. Dari rangkaian rangkaian (A→B, B→C)/A→C diketahui bahwa rangkaian (1) A→B dan (2)  B→C bernilai benar, dan (3) A→C bernilai salah. Sehingga, agar (3) bernilai salah, maka (4) A harus bernilai benar dan (5) C bernilai salah. Selanjutnya untuk membuat (1) bernilai benar maka masalah perlu dibagi menjadi dua, di mana (6) A bernilai salah dan (7) B bernilai benar. Karena tidak mungkin (4) dan (6) bersama benar dan salah, maka (i) tidak dapat diselesaikan secara trivial. Selanjutnya, agar (2) bernilai benar, (8) B harus bernilai salah dan (9) C bernilai benar. Karena (7) dan (8) serta (5) dan (9) tidak dapat bersama-sama benar dan salah, maka masalah tidak dapat diselesaikan secara trivial. Jika dibandingkan dengan metode deduktif murni (Beth, 1962), pendekatan semantik menyajikan metode deduksi yang lebih kuat. Metode semantik memiliki keleluasan dalam menyelesaikan deduksi yang tidak dapat diselesaikan oleh metode deduktif murni.
Proposisi formal pada sistem dibangun secara rekursif dari proposisi variabel dan penghubung sehingga memungkinkan membangun tabel kebenarannya, yang mengarah kepada nilai kebenaran pernyataan yang kompleks. Di antara proposisi formal tersebut, beberapa memiliki nilai benar untuk setiap distribusi, yang disebut tautologi dan memainkan peran yang penting dalam sistem, yakni tautologi mendukung deduksi. Wittgenstein menunjukkan bagaimanan tautologi mendukung deduksi dalam kasus modus Ponens. ‘‘((p ) q) ^ p) ) q’’ merupakan suatu tautologi, jelas bahwa ‘‘q’’ menyesuaikan ‘‘(p ) q) ^ p.’’ Hal baru yang penting dari sistem ini adalah fakta bahwa untuk menyimpulkan tidak menggunakan sebuah aturan sebagaimana sistem Frege dan Russell. Selain itu, fakta suatu pernyataan formal merupakan tautologi atau tidak bergantung hanya pada strukturnya. Dalam kasus proposisi yang kompleks, metode tabel kebenaran menawarkan hasil yang meyakinkan. Sebagai konsekuensinya, pembuktian dalam logika dan pembuktian logis dari pernyataan matematis merupakan dua hal yang berbeda. Sebagaimana pada kebanyakan aturan inferensi klasik yang berasosiasi dengan tautologi, sistem Wittgenstein dikenal sebagai ‘‘theory of valid inference.’’ Teori ini dipopulerkan oleh Quine, yang menyatakan bahwa inferensi tidak lain adalah implikasi (Quine dalam Guerrier, 2008). Sehingga, apa yang muncul dari Tractatus merupakan sistem formal yang bertujuan untuk menyediakan deskripsi fakta yang memadai. Dalam tulisannya tentang proposisi kalkulus, Wittgenstein dengan brilian mengatasi ketegangan antara formalisme dan deskripsi dunia. Tetapi ketika menghadapi logika kuantor, pertanyaan ini jarang dieksplor Beberapa tahun kemudian, Tarski, berhasil menyelesaiakan logika kuantor dan meraih apa yang Wittgenstein peroleh pada proposisi logis.
Tarski (dalam Guerrier, 2008)dalam tulisannya yang berjudul “The concept of truth in languages of deductive sciences” menunjukkan bahwa tujuannya adalah menyusun definisi dari proposisi kebenaran yang memadai secara materi dan tepat secara formal. Proyek Tarski adalah menjembatani secara nyata antara sistem formal dan realita. Pada tahun 1944 dia mengemukakan kembali konsep kebenaran klasik milik Aristoteles dalam bahasa yang modern melalui definisi berikut: “‘the truth of a proposition lies in its agreement (or correspondence) with reality; or a proposition is true if it designates an existent state of things.’’ Kebenaran proposisi terletak pada kesepakatan (atau korespondensi) dengan realita, atau suatu proposisi bernilai benar jika ia membentuk status keberadaan sesuatu. Untuk mengelaborasi konstruksi rekursif dari kebenaran suatu proposisi, Tarski mengenalkan konsep yang lebih umum tentang ‘‘satisfaction of a propositional function (a predicate) by such or such objects, kesesuaian fungsi proposisi objek’’ kepada fakta bahwa ‘‘complex propositions are not aggregates of propositions, but obtained from propositional functions. Proposisi kompleks tidak beragregasi, tetapi diperoleh dari fungsi proposisi’’ Definisi ini menegaskan fakta bahwa status kebenaran dari sebuah fungsi proposisi mesti berlaku di dunia realita. Hal ini memungkinkan bagi kita untuk mengonstruk kriteria kesesuaian suatu formula yang kompleks terhadap predikat kalkulus pada struktur manapun secara rekursif dengan menggunakan intepretasi terhadap tiap huruf pada formula. Sehingga dapat didefinisikan ungkapan tentang “model for a formula”, yang mengatur suatu struktur interpretasi dari suatu formula yang memenuhi setiap rangkaian objek yang relevan. Hal ini menjadi jalan bagi Tarski dalam mendefinisikan notion yang fundamental tentang “konsekuensi logis dalam sudut pandang semantik”: suatu formula G menyesuaikan dari suatu formula F secara logis  jika dan hanya jika setiap model dari F merupakan model bagi G. Hal ini bermakna bahwa formula “ adalah benar untuk setiap intepretasi terhadap F dan G pada setiap struktur tak kosong. Contohnya, dalam konteks semantik, “Q(x)” merupakan konsekuensi logis dari “ Perhatikan bahwa ini merupakan ekstensi dari hasil korespondensi yang dihasilkan oleh Wittgenstein, dalam pemahaman bahwa “Q(x)” dan “ bukan merupakan variabel proposisi, tapi fungsi proposisi. Sehingga tidak mungkin untuk menggunakan tabel kebenaran secara langsung.
Model pendekatan teoritik dikembangkan oleh Tarski dalam bukunya Introduction to logic and to the methodology of the deductive sciences. Diketahui suatu teori deduktif yang memungkinkan memahami suatu sistem aksiomatik sebagai bahasa formal dan mengintepretasikan kembali sistem dengan interpretasi yang lain. Interpretasi dimana suatu aksioma bernilai benar disebut dengan model sistem aksiomatik. Pendekatan ini (Beth, 1962) menjadikan tak berhingga banyaknya formula sebagai aksioma, yang diperoleh dari beberapa aksioma tertentu yang digunakan berulang-ulang pada aturan inferensial. Aksioma-aksioma tersebut dinamakan tesis. Beberapa karakter tesis yang mendasar antara lain,
(I)       
(II)      
(III)     
Dari tesis-tesis tersebut dikembangkan menggunakan skema inferensial dan modus Ponens sehingga diperoleh berbagai teorema. Misalnya akan dibuktikan bahwa  juga merupakan tesis. Dari karakter aksioma I maka dapat disusun implikasi berupa (1)  (. Sedangkan dari karakter aksioma II dapat disusun implikasi (2) . Dari (1) dan (2) dengan skema (iij) maka diperoleh (Hal tersebut memberikan beberapa hasil yang penting:
“Semua teorema dibuktikan dari suatu sistem aksiomatik yang valid untuk setiap interpretasi sistem”
Teorema tersebut menunjukkan hubungan antara semantik dan sintak sekaligus mengarahkan kita kepada metode yang penting dalam pembuktian bahwa suatu pernyataaan bukan merupakan konsekuensi logis dari teori aksioma. Dengan begitu, Tarski telah memberikan perbedaan yang jelas antara kebenaran dalam suatu interpretasi dan kebenaran sebagai konsekuensi logis dari suatu sistem aksiomatik. Dibandingkan dengan kedua metode sebelumnya, metode aksiomatik memiliki perbedaan yang cuku jelas. Beth (1962) menjelaskan bahwa pendekatan aksiomatik tidak melibatkan analisis keterkaitan antara himpunan K yang memuat premis-premis U dengan himpunan L yang memuat konklusi-konklusi V. Melainkan menetapkan status istimewa terhadap suatu kumpulan formula yang disebut tesis. Tesis ini identik dengan tautologi. Namun keterkaitan dua teori sebelumnya dengan teori aksiomatik akan ditunjukkan dalam teorema-teorema. Misal pada teorema 9 (Beth, 1962), Setiap tesis adalah identitas logis. Dengan membangun tabel semantik yang cocok, kami pertama kali menunjukkan bahwa setiap aplikasi dari aksioma-schemata (I)-(III) adalah identitas logis. Kedua, akan dibuktikan bahwa jika kedua U dan  yang logis identitas, maka demikian juga V. Jadi misalkan bahwa di bawah valuasi tertentu w identitas, maka demikian juga V. Jadi misalkan di bawah valuasi tertentu w kami memiliki . Dengan U adalah logicalidentity, kita memiliki . Dengan aturan (S1), berikut bahwa w . Tapi ini bertentangan anggapan kami menurut yang  adalah identitas logis. Akhirnya, jika U menjadi tesis yang bebas. Maka harus ada batas tertentu untuk urutan formula (, yang merupakan bukti U sebagai tesis. Jika , atau U, bukan identitas logis, maka baik itu adalah satu-satunya rumus di urutan yang tidak identitas logis atau yang lain itu didahului oleh formula lain dalam urutan yang juga tidak identitas logis. Akan ada formula  pertama dalam urutan yang bukan merupakan identitas logis. Sekarang baik   adalah sebuah aplikasi dari salah satu skema aksioma (I) - (IIII) atau dapat juga ditemukan m dan n (l <m, n <j) sehingga   adalah    Namun, karena   bukan identitas logis, tidak dapat menjadi aplikasi skema aksioma dengan pengamatan pertama. Di sisi lain, karena  dan   mendahului , maka identitas logis. Tapi dengan kedua kami komentar, jika   adalah  adalah identitas logis, maka harus juga menjadi identitas logis. Hal berikut bahwa ada formula  seperti yang dijelaskan dapat ditemukan. Oleh karena itu , atau U, harus menjadi identitas logis.
            Implikasi hanyalah satu dari sekian hubungan-hubungan antar struktur yang dideduksi menggunakan ketiga pendekatan tersebut. Yang lainnya adalah disjungsi, konjungsi, dan negasi. Penjelasan tentang ketiga hubungan tersebut secara otomatis mengubah ketetapan-ketetapan sebelumnya yang hanya memuat hubungan implikasi. Selain itu, rangkaian yang disusun menggunakan hubungan-hubungan tersebut juga memiliki keterkaitan. Misalnya U  V yang dapat didefinisikan sebagai (UV) → V (Beth, 1962). Dengan hubungan-hubungan tersebut, maka teorema-teorema yang dapat dibangun semakin beragam. Misalnya Teorema 15 (Beth, 1962). Jika formula memuat implikasi dan negasi, dan jika ditambahkan skema aksioma (IX) dan (X) pada skema aksioma (I)-(III), maka Teorema 5-14 tetap valid. Kita tidak mengalami kendala dalam mengekstensika (pernyataan dan) pembuktian Teorema 8. Seperti Teorema 7, kita dua kali membandingkan dua fragmen khas dari tablo semantik untuk formula Z yang mewakili rangkaian K/L. Seperti pada (2), diamati bahwa aplikasi skema (v) dapat digantikan oleh aplikasi skema (i) dan (ij), asalkan ditambahkan rumus yang cocok  dan  pada antecendent. Misalkan U1, U2, ..., Um menjadi semua rumus yang ditambahkan dengan cara ini. Kemudian, secara jelas tableau semantik untuk urutan  yang dibangun di bawah skema (i), (ij), dan (v) akan tertutup, jika dan hanya jika tableau semantik untuk urutan (U1, U2, ..., Um)/Z yang dibangun di bawah skema (i) dan (ij) saja juga tertutup. Dalam pembangunan kedua, rumus U’ dan U’’ berperilaku seperti atom dan karenanya tableau kedua dapat dianggap sebagai formal deduksi dalam logika implikasional murni. Kemudian berdasarkan Teorema 7 (dalam bentuk aslinya), rumus:
adalah tesis logika implikasional murni implicationallogic. Karena U1, U2, ..., Um adalah aplikasi dari aksioma-skema (IX) dan (X), dibuktikan dengan modus ponen bahwa rumus Z adalah tesis logika sentensial dalam implikasi dan negasi. Teorema 7 dan 8 yang sekarang ini ditetapkan untuk versi yang besar dari logika sentensial, pembahasan teorema sisa menyajikan tidak ada kesulitan. Teorema 15 mengungkapkan kelengkapan teori deduksi logika sentensial dalam implikasi dan negasi. Sekarang harus dinyatakan dan dibuktikan teorema lain yang menyatakan kelengkapan teori definisi (atau kelengkapan fungsional) dari versi logika sentensial dan juga dijelaskan mengapa versi ini lebih penting daripada, logika sentensial pada implikasi dan konjungsi.
            Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, logika yang terkuantifikasi merupakan ekstensi dari proposisi logis, di mana hal tersebut merupakan jantung dari penalaran matematis. Dalam pembahasan kuantifikasi, formula memiliki variabel individu, pramater individu, dan melibatkan kuantifikasi seperti “semua” dan “ada”. Sehingga kebenaran dan deduksi menjadi lebih detail dan kompleks.  Pembahasan kuantifikasi juga berakibat pada penyesuaian terhadap notasi dan ketetapan yang telah dibuat sebelumnya. Sehingga dikenalkan predikat biner yakni kesamaan. Notion ini digunakan untuk menjelaskan aksioma dari dua kelompok, dengan melihat hubungan kesamaan dari parameter-parameternya. Selain itu, dikenalkan suatu fungsi yang merujuk pada parameter-parameter suatu predikat untuk memudahkan deduksi pada teorema-teorema berikutnya. Sebagaimana pada teorema 25 (Beth, 1962) misalkan formula (x)(y)(Ez)(t){V(x, y, t) z = t}  dapat ditarik kesimpulan dari himpunan K, misal f merupakan fungsi parameter yang tidak muncul dalam K, misal K0 diperoleh dengan menambahkan K formula
dan misal Z menjadi formula di mana parameter f tidak muncul. Kemudian Z akan dapat ditarik kesimpulan dari K0 jika dan hanya jika dapat ditarik kesimpulan dari K. Secara khusus, K0 akan konsisten secara formal jika dan hanya jika K secara formal konsisten. Beberapa penjelasan dari Teorema 25 adalah formula (x)(y)(Ez)(t){V (x, y, t)  z = t} mengungkapkan fakta bahwa ada, untuk setiap x dan y, tepat satu z yang, diambil sebagai nilai t, memenuhi ketentuan V(x, y, t). Kami biasanya mengungkapkan fakta ini dengan mengatakan bahwa z adalah fungsi dari x dan y dan itu adalah praktek saat ini untuk menunjukkan ini lebih eksplisit dengan memperkenalkan simbol fungsi f baru dan dengan menulis f (x, y) bukan z; rumus (x) (y) (t) [V (x, y, t)  f(x, y) = t] diambil untuk menentukan fungsi f. Teorema 25 membuat jelas bahwa praktek ini dapat dibuat karena tidak menghasilkan kontradiksi dan sejauh formula dalam notasi asli (tanpa f) yang bersangkutan, tidak ada teorema baru.
            Selanjutnya, setelah dilengkapi oleh kuantifikasi dan fungsi, teori deduksi dapat dibawa kepada formalisasi aritmatika. Dalam hal ini melibatkan bilangan asli beserta operasi-operasi biner seperti penjumlahan, pengurangan, perkalian, pembagian, hingga eskponensial. Pada pembahasan ini sintaks dan semantik semakin mengerucut pada Matematika, yakni menyusun konsistensi dan koheren dari Matematika formal. Dalam rangka untuk membuat hubungan antara implikasi logika murni dan aritmatika (Beth, 1962), dikaitkan dengan setiap formula atau angka natural  g(U), yang disebut Godel number dan ditentukan oleh berikut ini:
(G1) Godel number  dari atoms A, B, C, ... masing-masing,
(G2)        
Pengenalan Godel number  memungkinkan kita untuk menyatakan sebagai berikut varian aritmatika dengan ketentuan (F3") dalam bagian 1: Angka natural g adalah Godel number  dari formula implikasi logika murni jika dan hanya jika ada urutan bilangan terbatas gl, g2, ..., gk seperti itu, untuk setiap j (1 <j <k), lebih baik adalah angka natural h sehingga gj = ke 7 atau dapat ditemukan bilangan natural m dan n
(l<m, n <j) sehingga gj =  , sedangkan gk = g.

C.     Matematika Formal
Formal secara epistemologis dalam menjustifikasi sebuah pernyataan, memiliki sifat konsisten, analitis, koheren, ideal dan apriori. Dengan sifat-sifat tersebut, setiap pernyataan menjadi logis dan konsisten. Metodenya meliputi deduksi yang mengarah kepada generalisasi, semantik dan sintaks yang bersifat rigor atau akurat. Melalui tiga metode tersebut, manusia dapat memanipulasi ruang dan waktu. Ruang dimanipulasi dengan menetapkan atom dan parameter dalam membangun kebenaran. Sedangkan waktu dimanipulasi dengan sintaks. Dalam konteks Matematika, Hilbert berusaha untuk menciptakan matematika sebagai suatu sistem yang tunggal, lengkap dan konsisten. David Hilbert (1642 –1943) (Marsigit, 2012) berpendapat bahwa matematika adalah tidak lebih atau tidak kurang sebagai bahasa matematika. Contohnya adalah bilangan lima yang memiliki beberapa simbol seperti 5 atau V. Istilah matematika tidak memiliki sebarang perluasan makna (Anglin dalam Marsigit, 2012). Formalis memandang matematika sebagai suatu permainan formal yang tak bermakna (meaningless) dengan tulisan pada kertas, yang mengikuti aturan (Ernest dalam Marsigit, 2012). Ernest (Marsigit, 2012) menjelaskan bawa formalis memiliki dua dua tesis, 1. Matematika sebagai sistem formal yang tidak dapat ditafsirkan secara asal-asalan, kebenaran matematika disajikan melalui teorema-teorema formal; 2. Sistem formal ini terbebas dari ketidakkonsistenan. 
Dalam bukunya Grundlagen der Geometrίe (1899), Hilbert (Marsigit, 2010) mempertajam metode matematika dari materi aksiomatik Euclid kepada aksiomatik formal seperti saat ini. Metode ini dikembangkan Hilbert sebagai respon terhadap kritik intuisionis terhadap paradoks teori himpunan. Tesis formalis adalah bahwa Matematika menitikberatkan kepada sistem formal simbolik. Hingga pada akhirnya Matematika menjadi sekumpulan pengembangan yang abstrak dimana istilah-istilahnya hanyalah simbol dan pernyataan yang melibatkan simbol saja. Landasan utama dari Matematika tidak lagi terletak pada logika namun pada sekumpulan nilai pralogika atau simbol dan sekumpulan operasi yang melibatkan simbol-simbol tersebut. Dalam sistem formal, segalanya mengalami reduksi menjadi aturan dan forma (Marsigit, 2010). Matematika mengalami pergeseran dari konten konkrit kepada konten yang hanya memuat unsur-unsur simbolik ideal. Penyusunan konsistensi dari beragam cabang Matematika menjadi penting dalam Matematika formal. Karena tanpa pembuktian yang konsisten, seluruh Matematiak formal menjadi tidak dapat dijangkau (Marsigit, 2010).
David Hilbert (dalam Marsigit, 2012) merumuskan suatu sistem aksioma dan aturan inferensi yang akan mencakup semua matematika, dari dasar aritmatika hingga mahir kalkulus; impiannya adalah menyusun metode penalaran matematika dan menempatkan mereka dalam kerangka tunggal. Hilbert menegaskan bahwa suatu sistem formal dari aksioma dan aturan harus konsisten, yang berarti bahwa seseorang tidak dapat membuktikan sebuah pernyataan dan kebalikannya pada saat yang sama, ia juga menginginkan skema yang lengkap, artinya satu selalu dapat membuktikan pernyataan yang diberikan bisa benar atau salah. Hilbert berpendapat bahwa harus ada prosedur yang jelas untuk memutuskan apakah suatu proposisi tertentu berikut dari himpunan aksioma, dengan itu, diberikan sebuah sistem yang jelas dari aksioma dan aturan inferensi yang tepat, akan lebih mungkin, meskipun tidak benar-benar praktis, untuk menjalankan melalui semua proposisi mungkin, dimulai dengan urutan terpendek simbol, dan untuk memeriksa mana yang valid. Pada prinsipnya, suatu prosedur keputusan secara otomatis akan menghasilkan semua teorema mungkin dalam matematika.
Di sisi lain, Hilbert (Marsigit, 2012) menjelaskan bahwa matematika formal didasarkan pada logika formal; mengurangi hubungan matematis untuk pertanyaan keanggotaan himpunan; objek primitif hanya terdefinisi dalam matematika formal adalah himpunan kosong yang berisi apa-apa. Ada klaim bahwa hampir setiap abstraksi matematika yang pernah diselidiki dapat diturunkan sebagai seperangkat aksioma teori himpunan dan hampir setiap bukti matematis yang pernah dibangun dapat dibuat dengan asumsi tidak ada di luar yang aksioma. Itu juga menyatakan bahwa jika tak terhingga merupakan potensi dan tidak pernah menjadi kenyataan selesai maka himpunan terbatas tidak ada, karena itu, ahli matematika mencoba untuk mendefinisikan struktur tak terbatas yang paling umum dibayangkan karena itu tampaknya memberikan harapan paling baik, jika himpunan tidak terbatas ada maka akan menjadi landasan matematika yang kokoh. Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa matematika harus langsung terhubung ke sifat program non-deterministic di alam semesta yang potensial tidak terbatas, hal ini akan membatasi ekstensi untuk sebuah himpunan bilangan ordinal dan himpunan yang dapat dibangun dari mereka. Obyek didefinisikan dalam suatu sistem matematis yang formal tidak peduli apakah aksioma tak terhingga itu termasuk yang dimasukkan, dan bahwa sistem formal dapat diartikan sebagai suatu program komputer untuk menghasilkan teorema di mana program tersebut dapat menghasilkan semua nama-nama benda atau himpunan yang didefinisikan dalam sistem tersebut. Selanjutnya, semua bilangan kardinal yang lebih besar yang pernah didefinisikan dalam sistem matematika yang terbatas, tidak akan dihitung dari dalam sistem tersebut.

REFERENSI

Beth, Evert W. 1962. Formal methods. Dordrecth: D. Reidel Publishing Company
Guerrier. 2008. Truth versus validity in mathematical proof. ZDM Mathematics Education, 40 (1) p.373-384
Marsigit. 2010. Modul filsafat ilmu. Universitas Negeri Yogyakarta.

_______. 2012. Sejarah dan filsafat Matematika. Disampaikan pada Workshop Guru SMK RSBI Yogyakarta.

0 komentar:

Posting Komentar

http://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html http://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html