Mata Kuliah Matematika Model
Dosen Pengampu: Prof. Dr. Marsigit,
MA.
Formal merupakan suatu metode dalam
menyusun penalaran yang logis, konsisten, terstruktur, koheren, analitik dan
ideal. Dalam hal ini logika merupakan hal yang fundamental dalam memahami
metode formal. Logika (Beth, 1962) merupakan teori deduktif inferensial yang
berkaitan erat dengan konsep himpunan, premis dan modus Ponens. Dalam membangun
konstruksi logika, perlu ditetapkan (F) formula-formula (U, V, W, ...) yang
merupakan terdiri dari atom-atom (A, B, C, ...) pada suatu himpunan (K). Dengan
ketetapan inilah, melalui penerapan modus Ponens, metode Formal dikembangkan
hingga diperoleh kesimpulan (Z). Beth (1962) menjelaskan bahwa terdapat tiga
konsepsi logika sebagai suatu teori deduksi inferensial, yaitu teori deduksi
murni (formalis), semantik, dan aksiomatik. Ketiganya memiliki keterkaitan satu
sama lain. Sehingga untuk dapat memahami dan mengembangkan logika secara
lengkap dan mudah, kita harus mempelajari ketiganya.
Aristoteles pada awalnya hanya mengenal
proposisi yang memiliki nilai benar atau salah, dan entitas linguistik lainnya
seperti doa, perintah dan sebagainya tidak memiliki nilai kebenaran. Frege dan
Russell memberikan sebuah definisi tentang implikasi yang disepakati ketika
anteseden dipahami secara umum bernilai benar dan tidak disepakati jika
sebaliknya. Hal tersebut mereka lakukan sebagai upaya dalam menyusun teori yang
koheren dalam menarik kesimpulan yang valid. Wittgenstein mengelaborasi sebuah
proposisi kalkulus dalam versi semantik yang memiliki sistem otonom sekaligus
dapat diterapkan dalam bahasa umum. Lalu Tarski mengonstruk sebuah definisi
semantik dari pernyataan yang benar, yakni pernyataan yang cukup secara
material dan benar secara formal. Kriteria-kriteria yang muncul dari
investigasi ini antara lain sintaks dan semantik di satu sisi, dan kebenaran
dan validitas di sisi lainnya. Sintaks dan semantik berkaitan secara nyata
dengan forma dan konten (Sinaceur dalam Guerrier, 2008), di mana hal tersebut
merupakan isu krusial dalam pendidikan Matematika. Sedangkan kebenaran dan
validitas merupakan inti dari proses pembuktian matematis. Sehingga jelas bahwa
sintaks dan semantik merupakan kriteria yang lebih umum. Meskipun begitu,
sintaks dan semantik memperhatikan kebenaran dan validitas.
A.
Masa Yunani Kuno
Telah diketahui bersama bahwa logika
formal bermula dari silogisme Aristoteles yang beliau kemukakan dalam Prior
Analytics (Aristote dalam Guerrier, 2008). Sebagaimana Lukasiewicz jelaskan,
bagi Aristotle, logika murni merupaka apa yang tersisa ketika material telah
disingkirkan (Lukasiewicz dalam Guerrier, 2008). Dalam membangun sistem logika
formal, Aristotle, dalam bukunya On Interpretation (Aristote dalam Guerrier,
2008), mengekstrak pernyataan formal dari bahasa yang umum, lalu memberikan
suatu bentuk standar dalam mengkuantifikasi pernyataan dan memperjelas
perbedaan antara kontradiksi (dimana dua nilai kebenaran yang berbeda
dihadapkan,misal setiap A adalah B atau beberapa A tidak B) dan contrariety
(oposisi yang lebih radikal yang memberikan kemungkinan kedua pernyataan bernilai
salah, misal setiap A adalah B atau tidak ada A yang B). Kemudian dalam the
Prior Analytics, Aristotle menawarkan suatu definisi yang akurat tentang
silogisme, yang bernama pernyataan kondisional dengan dua premis dan sebuah
kesimpulan (semuanya merupakan pernyataan terkuantifikasi) yang mematuhi
seperangkat aturan yang presisi. Contohnya, “Jika beberapa dari A adalah B dan
setiap B adalah C, maka beberapa dari A merupakan C” (1), atau “jika setiap A
adalah B dan beberapa B adalah C, maka beberapa A adalah C (2). Berdasarkan
definisi tersebut, Aristoteles kemudian mengelompokkan silogisme menjadi dua
kategori: yang mengarah dari kebenaran kepada kebenaran sebagaimana
interpretasi A, B dan C pada contoh (1), dan yang mungkin memiliki premis yang
bernilai benar dan konklusi yang bernilai salah sebagaimana pada contoh (2).
Aristoteles pertama-tama menyatakan bahwa beberapa silogisme jelas
kevalidannya, artinya setiap orang akan sepakat dengan fakta yang
mempertahankan kebenarannya. Silogisme pertama yang paling terkenal adalah
“Jika setiap A adalah B dan setiap B adalah C, maka setiap A adalah C.”
Kemudian beliau memberikan beberapa konversi aturan yang tetap menjamin
kevalidan silogisme seperti mengganti “beberapa A adalah B” dengan “Beberapa B
adalah A” dimana keduanya jelas ekivalen (sinonim). Sehingga Aristotels dapat
membuktikan lewat sintaks bahwa beberapa silogisme valid secara logis. Selain
itu, untuk setiap silogisme yang dapat disusun dalam sistemnya , dapat beliau
buktikan secara sintaksis bahwa hal tersebut valid atau memberikan bukan contoh
untuk menunjukkan bahwa hal tersebut tidaklah valid. Dengan menggunakan cara
ini, Aristoteles menggunakan proses sintaks dan semantik. Konsekuensinya,
beliau membedakan antara kebenaran pada sebuah interpretasi dengan validitas
logis. Aristoteles menilai kebenaran sebagai suatu kebutuhan ketika hal
tersebut merupakan konklusi dari silogisme yang valid dengan premis yang
bernilai benar. Dan membedakannya dengan kebenaran faktual, atau kebenaran yang
diperoleh hanya sebagai konsekuensi dari kebenaran lainnya. Meskipun sistem
logika formal Aristoteles jelas belum cukup dalam penalaran Matematika, namun
ia telah mengembangkan konsep mendasar dari logika yang penting dalam dunia
logika modern saat ini, khususnya interpretasi semantik dan turunan formalnya.
B.
Abad ke-19 dan 20
Meskipun logika telah menjadi pusat
penelitian para filsuf dan ilmuwan, perkembangan yang spektakuler hanya
dirasakan pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Frege dan Russell
merupakan sosok utama dalam masa kebangkitan ini. Revolusi yang diperkenalkan
oleh Frege meliputi elaborasi terhadap bahasa simbolik, memperkayanya
menggunakan bahasa Matematika, dan menerjemahkannya dalam operasi logika
(penghubung and kuantor). Dalam tulisannya (Frege dalam Guerrier, 2008), Frege
mengekspos proyeknya dalam memperbarui logika agar menghasilkan penalaran
matematika yang akurat secara sempurna. Frege berpendapat bahwa bahasa umum
tidak dapat mencapai tingkatan akurat (rigor). Frege meyakini bahwa dalam konteks
umum pengalaman kita mungkin cukup untuk menghindari banyak kesalahan. Namun
hal tersebut tidak berlaku pada kasus yang lebih kompleks seperti Matematika.
Selain itu, logika yang dinyatakan dalam bahasa umum tidak cukup untuk menjamin
bahwa rantai inferensi tidak terdapat gap/pemisah. Ideografi Frege mampu
mengungkap struktur matematika yang terdalam melalui formalisasi perbedaan
antar pernyataan tunggal dan umum, dan
dengan menunjukkan cakupan generalisasinya dalam hubungan seperti negasi dan
implikasi. Hal ini merupakan suatu yang penting dalam menyelesaikan ambiguitas
yang terjadi pada bahasa umum.
Salah satu aspek yang penting dari
kontribusi Frege adalah definisi dari implikasi dan negasi (Frege dalam
Guerrier, 2008). Beliau mendefinisikan hubungan suatu implikasi “Jika A, maka
B” ekivalen dengan “negasi (negasi A dan B)”, dimana hanya bernilai salah jika anteseden bernilai
benar dan konsekuen bernilai salah. Frege menolak keberatan terhadap definisi
ini dengan argumen bahwa tidak hanya karena alasan logika sehingga definisi
harus bebas dari bahasa umum, tetapi juga tuntutan untuk menyusun jarak yang
nyata dari bahasa umum. Sehingga ideografi Frege menampilkan definisi yang
murni dari bahasa umum. Definisi yang dikemukakan Frege mirip dengan ‘‘material
implikasi’’ yang didefinisikan oleh Russell (dalam Guerrier, 2008), bahwa pasti
terdapat hubungan logis antara dua proposisi ketika antesedennya bernilai salah
atau konsekuennya bernilai benar. Russell meyakini bahwa konsep alamiah dari
implikasi adalah kondisi umum yang menegaskan bahwa setiap materi implikasi
(ketentuan proposional) dalam suatu himpunan adalah bernilai benar.
Sejalan dengan teori deduksi murni (Beth,
1962), permasalahan deduktif dicirikan oleh serangkaian K/L dimana pada
implikasi, anteseden K merupakan himpunan berhingga dari formula U1,
U2, ..., Um dan
sukseden L akan memuat tepat satu formula Z. Untuk melakukan reduksi sehingga
diperoleh permasalahan yang lebih sederhana, rangkaian tertutup, hingga
menghasilkan deduksi yang diingikan, maka perlu disusun skema reduksi yang
berdasarkan pada prinsip heuristik, dimana sebuah premis dalam bentuk implikasi
U → V hanya dapat digunakan pada modus
Ponens yang tepat. Sehingga himpunan K menghasilkan kesimpulan Z jika Z dapat
diperoleh dari K dengan menggunakan beberapa metode deduksi formal yang
memadai, ditandai dengan beberapa persyaratan (i)-(iij) melalui beberapa skema
reduksi. Salah satu contohnya adalah dengan menggunakan tablo deduksi tertutup.
Konstruksi dari tablo tersebut berdasarkan akhiran dan reduksi dari skema (i)
dan (ij). Misalnya, solusi dari permasalahan deduksi rangkaian (A→B, B→C)/A→C.
Sebagai premis adalah (1) A→B dan (2)
B→C, dan konklusi adalah (3) A→C. Dari kedua premis dengan skema (ijb)
diperoleh premis (4) A. Kemudian dari (3) dan (4) dengan (ijb)
diperoleh (5) C. Permasalahan kemudian dibagi dua, (i) dan (ij). Dari (3) dan
(5) dengan skema (ijaI) diperoleh (6) A. Sedangkan dari (1) dan (4)
dengan skema (ijaI) diperoleh (7) B. Permasalahan kemudian kembali
dibagi dua, (i) dan (ij).Dari (1) dan (6) dengan skema (ijaI)
diperoleh (8) B. Dari (2) dan (7) dengan skema (ijaI) diperoleh (9)
C. Pada tahap ini diperoleh skema tertutup.
Bagaimanapun juga, logika yang
terkuantifikasi merupakan ekstensi dari proposisi logis, di mana hal tersebut
merupakan jantung dari penalaran matematis. Kesulitan yang lebih besar muncul
dari sebuah fakta bahwa proposional logis dikembangkan sebagai suatu sistem
aksiomatik berdasarkan sintaks (teorema diturunkan dari penerapan aturan
inferensial dalam sistem itu sendiri), sedangkan logika terkuantifikasi yang
didefinisikan oleh Frege dan Russell jelas memerlukan perspektif semantik untuk
dapat dibawa kepada interpretasi dan isu terkait kuantifikasi. Wittgenstein,
melalui elaborasi semantik dari proposisi logis, membuka jalur baru kepada
penyelesaian, yang kemudian direalisasikan oleh Tarski dengan definisi
semantiknya tentng konsep kebenaran.
Sebagai seorang murid dari Russell and
Frege, Wittgenstein mengajukan sistem formal yang dikonstruk menggunakan
perspektif semantik dalam tulisannya Tractatus logico philosophicus
(Wittgenstein dalam Guerrier, 2008). Tujuan utamanya adalah formalisasi notion
dari proposisi, yakni sebagai suatu entitas bahasa yang bernilai salah atau
benar. Komponen dari sistem ini adalah variabel proposisi, yang bermakna simbol
atau variabel yang dapat diinterpretasikan sebagai proposisi dalam suatu bagian
diskursus. Pada teori semantik, himpunan K menghasilkan kesimpulan Z dengan
menetapkan terlebih dahulu bahwa setiap premis U dalam K adalah benar dalam
penilaian w, sehingga Z juga pasti benar dalam penilaian w. Teori ini mengatur
nilai kebenaran untuk setiap formula U dengan ditentukan oleh masing-masing
atom A, B, C, ... yang telah ditentukan nilai kebenarannya. Sehingga jika K dan
L merupakan himpunan berhingga dari formula U1, U2, ...,
Um dan V1, V2, ..., Vn maka
premasalahan penilaian dicirikan oleh rangkaian K/L, dimana semua formula pada K
bernilai benar dan semua formula pada L bernilai salah (Beth, 1962). Terdapat
dua prinsip yang mengatur sistem. Pertama, prinsip bivalensi, bahwa terdapat
tepat dua nilai kebenaran dalam sistem. Kedua, prinsip ekstensi, menegaskan
bahwa nilai kebenaran dari sebuah kalimat yang kompleks seutuhnya ditentukan
oleh nilai kebenaran komponen-komponennya. Tabel kebenaran diperkenalkan untuk
mendefinisikan semua distiribusi kemungkinan kebenaran pada sistem. Untuk dua
variabel misalnya, terdapat enam belas kombinasi yang mungkin. Di antara
kemungkinan tersebut, kita menemukan semua penghubung logika klasik seperti
konjungsi, disjungsi, implikasi, dan ekivalensi. Namun, pada masalah penilaian
rangkaian (A→B, B→C)/A→C, tabel kebenaran menunjukkan bahwa tidak ada penilaian yang memenuhi. Oleh
karena itu, diperkenalkan pendekatan yang berbeda dalam mengatasi masalah
penilaian tersebut. Dari rangkaian rangkaian (A→B, B→C)/A→C diketahui bahwa
rangkaian (1) A→B dan (2) B→C bernilai
benar, dan (3) A→C bernilai salah. Sehingga, agar (3) bernilai salah, maka (4)
A harus bernilai benar dan (5) C bernilai salah. Selanjutnya untuk membuat (1)
bernilai benar maka masalah perlu dibagi menjadi dua, di mana (6) A bernilai
salah dan (7) B bernilai benar. Karena tidak mungkin (4) dan (6) bersama benar
dan salah, maka (i) tidak dapat diselesaikan secara trivial. Selanjutnya, agar
(2) bernilai benar, (8) B harus bernilai salah dan (9) C bernilai benar. Karena
(7) dan (8) serta (5) dan (9) tidak dapat bersama-sama benar dan salah, maka
masalah tidak dapat diselesaikan secara trivial. Jika dibandingkan dengan
metode deduktif murni (Beth, 1962), pendekatan semantik menyajikan metode
deduksi yang lebih kuat. Metode semantik memiliki keleluasan dalam
menyelesaikan deduksi yang tidak dapat diselesaikan oleh metode deduktif murni.
Proposisi formal pada sistem dibangun
secara rekursif dari proposisi variabel dan penghubung sehingga memungkinkan
membangun tabel kebenarannya, yang mengarah kepada nilai kebenaran pernyataan
yang kompleks. Di antara proposisi formal tersebut, beberapa memiliki nilai
benar untuk setiap distribusi, yang disebut tautologi dan memainkan peran yang
penting dalam sistem, yakni tautologi mendukung deduksi. Wittgenstein
menunjukkan bagaimanan tautologi mendukung deduksi dalam kasus modus Ponens.
‘‘((p ) q) ^ p) ) q’’ merupakan suatu tautologi, jelas bahwa ‘‘q’’ menyesuaikan
‘‘(p ) q) ^ p.’’ Hal baru yang penting dari sistem ini adalah fakta bahwa untuk
menyimpulkan tidak menggunakan sebuah aturan sebagaimana sistem Frege dan
Russell. Selain itu, fakta suatu pernyataan formal merupakan tautologi atau
tidak bergantung hanya pada strukturnya. Dalam kasus proposisi yang kompleks,
metode tabel kebenaran menawarkan hasil yang meyakinkan. Sebagai
konsekuensinya, pembuktian dalam logika dan pembuktian logis dari pernyataan
matematis merupakan dua hal yang berbeda. Sebagaimana pada kebanyakan aturan
inferensi klasik yang berasosiasi dengan tautologi, sistem Wittgenstein dikenal
sebagai ‘‘theory of valid inference.’’ Teori ini dipopulerkan oleh Quine, yang
menyatakan bahwa inferensi tidak lain adalah implikasi (Quine dalam Guerrier,
2008). Sehingga, apa yang muncul dari Tractatus merupakan sistem formal yang
bertujuan untuk menyediakan deskripsi fakta yang memadai. Dalam tulisannya
tentang proposisi kalkulus, Wittgenstein dengan brilian mengatasi ketegangan
antara formalisme dan deskripsi dunia. Tetapi ketika menghadapi logika kuantor,
pertanyaan ini jarang dieksplor Beberapa tahun kemudian, Tarski, berhasil
menyelesaiakan logika kuantor dan meraih apa yang Wittgenstein peroleh pada
proposisi logis.
Tarski (dalam Guerrier, 2008)dalam
tulisannya yang berjudul “The concept of truth in languages of deductive
sciences” menunjukkan bahwa tujuannya adalah menyusun definisi dari proposisi
kebenaran yang memadai secara materi dan tepat secara formal. Proyek Tarski
adalah menjembatani secara nyata antara sistem formal dan realita. Pada tahun
1944 dia mengemukakan kembali konsep kebenaran klasik milik Aristoteles dalam
bahasa yang modern melalui definisi berikut: “‘the truth of a proposition lies
in its agreement (or correspondence) with reality; or a proposition is true if
it designates an existent state of things.’’ Kebenaran proposisi terletak pada
kesepakatan (atau korespondensi) dengan realita, atau suatu proposisi bernilai
benar jika ia membentuk status keberadaan sesuatu. Untuk mengelaborasi
konstruksi rekursif dari kebenaran suatu proposisi, Tarski mengenalkan konsep
yang lebih umum tentang ‘‘satisfaction of a propositional function (a
predicate) by such or such objects, kesesuaian fungsi proposisi objek’’ kepada
fakta bahwa ‘‘complex propositions are not aggregates of propositions, but
obtained from propositional functions. Proposisi kompleks tidak beragregasi,
tetapi diperoleh dari fungsi proposisi’’ Definisi ini menegaskan fakta bahwa
status kebenaran dari sebuah fungsi proposisi mesti berlaku di dunia realita.
Hal ini memungkinkan bagi kita untuk mengonstruk kriteria kesesuaian suatu
formula yang kompleks terhadap predikat kalkulus pada struktur manapun secara
rekursif dengan menggunakan intepretasi terhadap tiap huruf pada formula.
Sehingga dapat didefinisikan ungkapan tentang “model for a formula”, yang
mengatur suatu struktur interpretasi dari suatu formula yang memenuhi setiap
rangkaian objek yang relevan. Hal ini menjadi jalan bagi Tarski dalam
mendefinisikan notion yang fundamental tentang “konsekuensi logis dalam sudut
pandang semantik”: suatu formula G menyesuaikan dari suatu formula F secara
logis jika dan hanya jika setiap model
dari F merupakan model bagi G. Hal ini bermakna bahwa formula “ adalah benar untuk setiap intepretasi terhadap
F dan G pada setiap struktur tak kosong. Contohnya, dalam konteks semantik,
“Q(x)” merupakan konsekuensi logis dari “ Perhatikan bahwa ini merupakan ekstensi dari
hasil korespondensi yang dihasilkan oleh Wittgenstein, dalam pemahaman bahwa
“Q(x)” dan “ bukan merupakan variabel proposisi, tapi
fungsi proposisi. Sehingga tidak mungkin untuk menggunakan tabel kebenaran
secara langsung.
Model pendekatan teoritik dikembangkan
oleh Tarski dalam bukunya Introduction to logic and to the methodology of the
deductive sciences. Diketahui suatu teori deduktif yang memungkinkan memahami
suatu sistem aksiomatik sebagai bahasa formal dan mengintepretasikan kembali
sistem dengan interpretasi yang lain. Interpretasi dimana suatu aksioma
bernilai benar disebut dengan model sistem aksiomatik. Pendekatan ini (Beth,
1962) menjadikan tak berhingga banyaknya formula sebagai aksioma, yang
diperoleh dari beberapa aksioma tertentu yang digunakan berulang-ulang pada
aturan inferensial. Aksioma-aksioma tersebut dinamakan tesis. Beberapa karakter
tesis yang mendasar antara lain,
(I)
(II)
(III)
Dari tesis-tesis tersebut dikembangkan menggunakan skema
inferensial dan modus Ponens sehingga diperoleh berbagai teorema. Misalnya akan
dibuktikan bahwa juga merupakan tesis. Dari karakter aksioma I
maka dapat disusun implikasi berupa (1)
(.
Sedangkan dari karakter aksioma II dapat disusun implikasi (2) .
Dari (1) dan (2) dengan skema (iij) maka diperoleh (Hal
tersebut memberikan beberapa hasil yang penting:
“Semua teorema dibuktikan dari suatu sistem aksiomatik yang
valid untuk setiap interpretasi sistem”
Teorema tersebut menunjukkan hubungan antara semantik dan sintak
sekaligus mengarahkan kita kepada metode yang penting dalam pembuktian bahwa suatu
pernyataaan bukan merupakan konsekuensi logis dari teori aksioma. Dengan
begitu, Tarski telah memberikan perbedaan yang jelas antara kebenaran dalam
suatu interpretasi dan kebenaran sebagai konsekuensi logis dari suatu sistem
aksiomatik. Dibandingkan dengan kedua metode sebelumnya, metode aksiomatik
memiliki perbedaan yang cuku jelas. Beth (1962) menjelaskan bahwa pendekatan aksiomatik tidak melibatkan analisis
keterkaitan antara himpunan K yang memuat premis-premis U dengan himpunan L
yang memuat konklusi-konklusi V. Melainkan menetapkan status istimewa terhadap
suatu kumpulan formula yang disebut tesis. Tesis ini identik dengan tautologi.
Namun keterkaitan dua teori sebelumnya dengan teori aksiomatik akan ditunjukkan
dalam teorema-teorema. Misal pada teorema 9 (Beth, 1962), Setiap tesis adalah
identitas logis. Dengan membangun tabel semantik yang cocok, kami pertama kali
menunjukkan bahwa setiap aplikasi dari aksioma-schemata (I)-(III) adalah
identitas logis. Kedua, akan dibuktikan bahwa jika kedua U dan yang logis identitas, maka demikian juga V.
Jadi misalkan bahwa di bawah valuasi tertentu w identitas, maka demikian juga
V. Jadi misalkan di bawah valuasi tertentu w kami memiliki .
Dengan U adalah logicalidentity, kita memiliki .
Dengan aturan (S1), berikut bahwa w .
Tapi ini bertentangan anggapan kami menurut yang adalah identitas logis. Akhirnya, jika U
menjadi tesis yang bebas. Maka harus ada batas tertentu untuk urutan formula (,
yang merupakan bukti U sebagai tesis. Jika ,
atau U, bukan identitas logis, maka baik itu adalah satu-satunya rumus di
urutan yang tidak identitas logis atau yang lain itu didahului oleh formula
lain dalam urutan yang juga tidak identitas logis. Akan ada formula pertama dalam urutan yang
bukan merupakan identitas logis. Sekarang baik adalah sebuah aplikasi dari salah satu skema
aksioma (I) - (IIII) atau dapat juga ditemukan m dan n (l <m, n <j)
sehingga adalah Namun, karena bukan identitas logis, tidak dapat menjadi
aplikasi skema aksioma dengan pengamatan pertama. Di sisi lain, karena dan mendahului ,
maka identitas logis. Tapi dengan kedua kami komentar, jika adalah adalah identitas logis, maka harus
juga menjadi identitas logis. Hal berikut bahwa ada formula seperti yang dijelaskan dapat ditemukan. Oleh
karena itu ,
atau U, harus menjadi identitas logis.
Implikasi
hanyalah satu dari sekian hubungan-hubungan antar struktur yang dideduksi
menggunakan ketiga pendekatan tersebut. Yang lainnya adalah disjungsi,
konjungsi, dan negasi. Penjelasan tentang ketiga hubungan tersebut secara
otomatis mengubah ketetapan-ketetapan sebelumnya yang hanya memuat hubungan
implikasi. Selain itu, rangkaian yang disusun menggunakan hubungan-hubungan
tersebut juga memiliki keterkaitan. Misalnya U V
yang dapat didefinisikan sebagai (U →
V) → V (Beth, 1962). Dengan hubungan-hubungan tersebut, maka
teorema-teorema yang dapat dibangun semakin beragam. Misalnya Teorema 15 (Beth,
1962). Jika formula memuat implikasi dan negasi, dan jika ditambahkan skema aksioma
(IX) dan (X) pada skema aksioma (I)-(III), maka Teorema 5-14 tetap valid. Kita
tidak mengalami kendala dalam mengekstensika (pernyataan dan) pembuktian
Teorema 8. Seperti Teorema 7, kita dua kali membandingkan dua fragmen khas dari
tablo semantik untuk formula Z yang mewakili rangkaian K/L. Seperti
pada (2), diamati bahwa aplikasi skema (v) dapat digantikan oleh aplikasi skema
(i) dan (ij), asalkan ditambahkan rumus yang cocok dan pada antecendent.
Misalkan U1, U2, ..., Um menjadi semua rumus yang ditambahkan dengan cara ini.
Kemudian, secara jelas tableau
semantik untuk urutan yang dibangun di bawah skema (i), (ij), dan
(v) akan tertutup, jika dan hanya jika tableau
semantik untuk urutan (U1,
U2, ..., Um)/Z yang dibangun di bawah skema (i) dan (ij) saja juga tertutup.
Dalam pembangunan kedua, rumus U’ dan
U’’ berperilaku seperti atom dan
karenanya tableau kedua dapat
dianggap sebagai formal deduksi dalam logika implikasional murni. Kemudian
berdasarkan Teorema 7 (dalam bentuk aslinya), rumus:
adalah tesis logika implikasional murni implicationallogic.
Karena U1, U2, ..., Um adalah aplikasi dari aksioma-skema (IX) dan (X),
dibuktikan dengan modus ponen bahwa rumus Z
adalah tesis logika sentensial dalam implikasi dan negasi. Teorema 7 dan 8 yang
sekarang ini ditetapkan untuk versi yang besar dari logika sentensial,
pembahasan teorema sisa menyajikan tidak ada kesulitan. Teorema 15
mengungkapkan kelengkapan teori deduksi logika sentensial dalam implikasi dan
negasi. Sekarang harus dinyatakan dan dibuktikan teorema lain yang menyatakan
kelengkapan teori definisi (atau kelengkapan fungsional) dari versi logika
sentensial dan juga dijelaskan mengapa versi ini lebih penting daripada, logika
sentensial pada implikasi dan konjungsi.
Sebagaimana
yang telah dijelaskan sebelumnya, logika
yang terkuantifikasi merupakan ekstensi dari proposisi logis, di mana hal
tersebut merupakan jantung dari penalaran matematis. Dalam pembahasan
kuantifikasi, formula memiliki variabel individu, pramater individu, dan
melibatkan kuantifikasi seperti “semua” dan “ada”. Sehingga kebenaran dan
deduksi menjadi lebih detail dan kompleks.
Pembahasan kuantifikasi juga berakibat pada penyesuaian terhadap notasi
dan ketetapan yang telah dibuat sebelumnya. Sehingga dikenalkan predikat biner
yakni kesamaan. Notion ini digunakan untuk menjelaskan aksioma dari dua
kelompok, dengan melihat hubungan kesamaan dari parameter-parameternya. Selain
itu, dikenalkan suatu fungsi yang merujuk pada parameter-parameter suatu
predikat untuk memudahkan deduksi pada teorema-teorema berikutnya. Sebagaimana
pada teorema 25 (Beth, 1962) misalkan formula (x)(y)(Ez)(t){V(x, y, t) z
= t} dapat ditarik kesimpulan dari
himpunan K, misal f merupakan fungsi parameter yang tidak muncul dalam K, misal
K0 diperoleh dengan menambahkan K formula
dan misal Z menjadi formula di mana parameter f tidak
muncul. Kemudian Z akan dapat ditarik kesimpulan dari K0 jika dan
hanya jika dapat ditarik kesimpulan dari K. Secara khusus, K0 akan
konsisten secara formal jika dan hanya jika K secara formal konsisten. Beberapa
penjelasan dari Teorema 25 adalah formula (x)(y)(Ez)(t){V (x, y, t) z = t} mengungkapkan fakta bahwa ada, untuk
setiap x dan y, tepat satu z yang, diambil sebagai nilai t, memenuhi ketentuan
V(x, y, t). Kami biasanya mengungkapkan fakta ini dengan mengatakan bahwa z
adalah fungsi dari x dan y dan itu adalah praktek saat ini untuk menunjukkan
ini lebih eksplisit dengan memperkenalkan simbol fungsi f baru dan dengan
menulis f (x, y) bukan z; rumus (x) (y) (t) [V (x, y, t) f(x, y) = t] diambil untuk menentukan fungsi
f. Teorema 25 membuat jelas bahwa praktek ini dapat dibuat karena tidak
menghasilkan kontradiksi dan sejauh formula dalam notasi asli (tanpa f) yang
bersangkutan, tidak ada teorema baru.
Selanjutnya,
setelah dilengkapi oleh kuantifikasi dan fungsi, teori deduksi dapat dibawa
kepada formalisasi aritmatika. Dalam hal ini melibatkan bilangan asli beserta
operasi-operasi biner seperti penjumlahan, pengurangan, perkalian, pembagian,
hingga eskponensial. Pada pembahasan ini sintaks dan semantik semakin
mengerucut pada Matematika, yakni menyusun konsistensi dan koheren dari
Matematika formal. Dalam rangka untuk membuat hubungan antara implikasi logika
murni dan aritmatika (Beth, 1962), dikaitkan dengan setiap formula atau angka
natural g(U), yang disebut Godel
number dan ditentukan oleh berikut ini:
(G1) Godel
number dari atoms A, B, C, ...
masing-masing,
(G2)
Pengenalan Godel
number memungkinkan kita untuk
menyatakan sebagai berikut varian aritmatika dengan ketentuan (F3") dalam
bagian 1: Angka natural g adalah Godel number dari formula implikasi logika murni jika dan
hanya jika ada urutan bilangan terbatas gl, g2, ..., gk
seperti itu, untuk setiap j (1 <j
<k), lebih baik adalah angka natural h
sehingga gj = ke 7 atau dapat ditemukan bilangan natural m dan n
(l<m, n <j) sehingga gj = , sedangkan gk = g.
C.
Matematika Formal
Formal secara epistemologis dalam
menjustifikasi sebuah pernyataan, memiliki sifat konsisten, analitis, koheren,
ideal dan apriori. Dengan sifat-sifat tersebut, setiap pernyataan menjadi logis
dan konsisten. Metodenya meliputi deduksi yang mengarah kepada generalisasi,
semantik dan sintaks yang bersifat rigor atau akurat. Melalui tiga metode
tersebut, manusia dapat memanipulasi ruang dan waktu. Ruang dimanipulasi dengan
menetapkan atom dan parameter dalam membangun kebenaran. Sedangkan waktu
dimanipulasi dengan sintaks. Dalam konteks Matematika, Hilbert berusaha untuk
menciptakan matematika sebagai suatu sistem yang tunggal, lengkap dan
konsisten. David Hilbert (1642 –1943) (Marsigit, 2012) berpendapat bahwa
matematika adalah tidak lebih atau tidak kurang sebagai bahasa matematika. Contohnya
adalah bilangan lima yang memiliki beberapa simbol seperti 5 atau V. Istilah
matematika tidak memiliki sebarang perluasan makna (Anglin dalam Marsigit,
2012). Formalis memandang matematika sebagai suatu permainan formal yang tak
bermakna (meaningless) dengan tulisan
pada kertas, yang mengikuti aturan (Ernest dalam Marsigit, 2012). Ernest
(Marsigit, 2012) menjelaskan bawa formalis memiliki dua dua tesis, 1.
Matematika sebagai sistem formal yang tidak dapat ditafsirkan secara
asal-asalan, kebenaran matematika disajikan melalui teorema-teorema formal; 2.
Sistem formal ini terbebas dari ketidakkonsistenan.
Dalam bukunya Grundlagen der Geometrίe
(1899), Hilbert (Marsigit, 2010) mempertajam metode matematika dari materi
aksiomatik Euclid kepada aksiomatik formal seperti saat ini. Metode ini
dikembangkan Hilbert sebagai respon terhadap kritik intuisionis terhadap
paradoks teori himpunan. Tesis formalis adalah bahwa Matematika menitikberatkan
kepada sistem formal simbolik. Hingga pada akhirnya Matematika menjadi
sekumpulan pengembangan yang abstrak dimana istilah-istilahnya hanyalah simbol
dan pernyataan yang melibatkan simbol saja. Landasan utama dari Matematika
tidak lagi terletak pada logika namun pada sekumpulan nilai pralogika atau
simbol dan sekumpulan operasi yang melibatkan simbol-simbol tersebut. Dalam
sistem formal, segalanya mengalami reduksi menjadi aturan dan forma (Marsigit,
2010). Matematika mengalami pergeseran dari konten konkrit kepada konten yang
hanya memuat unsur-unsur simbolik ideal. Penyusunan konsistensi dari beragam
cabang Matematika menjadi penting dalam Matematika formal. Karena tanpa
pembuktian yang konsisten, seluruh Matematiak formal menjadi tidak dapat
dijangkau (Marsigit, 2010).
David Hilbert (dalam Marsigit, 2012)
merumuskan suatu sistem aksioma dan aturan inferensi yang akan mencakup semua
matematika, dari dasar aritmatika hingga mahir kalkulus; impiannya adalah
menyusun metode penalaran matematika dan menempatkan mereka dalam kerangka
tunggal. Hilbert menegaskan bahwa suatu sistem formal dari aksioma dan aturan
harus konsisten, yang berarti bahwa seseorang tidak dapat membuktikan sebuah
pernyataan dan kebalikannya pada saat yang sama, ia juga menginginkan skema
yang lengkap, artinya satu selalu dapat membuktikan pernyataan yang diberikan
bisa benar atau salah. Hilbert berpendapat bahwa harus ada prosedur yang jelas
untuk memutuskan apakah suatu proposisi tertentu berikut dari himpunan aksioma,
dengan itu, diberikan sebuah sistem yang jelas dari aksioma dan aturan
inferensi yang tepat, akan lebih mungkin, meskipun tidak benar-benar praktis,
untuk menjalankan melalui semua proposisi mungkin, dimulai dengan urutan
terpendek simbol, dan untuk memeriksa mana yang valid. Pada prinsipnya, suatu
prosedur keputusan secara otomatis akan menghasilkan semua teorema mungkin
dalam matematika.
Di sisi lain, Hilbert (Marsigit, 2012)
menjelaskan bahwa matematika formal didasarkan pada logika formal; mengurangi
hubungan matematis untuk pertanyaan keanggotaan himpunan; objek primitif hanya
terdefinisi dalam matematika formal adalah himpunan kosong yang berisi apa-apa.
Ada klaim bahwa hampir setiap abstraksi matematika yang pernah diselidiki dapat
diturunkan sebagai seperangkat aksioma teori himpunan dan hampir setiap bukti
matematis yang pernah dibangun dapat dibuat dengan asumsi tidak ada di luar
yang aksioma. Itu juga menyatakan bahwa jika tak terhingga merupakan potensi
dan tidak pernah menjadi kenyataan selesai maka himpunan terbatas tidak ada,
karena itu, ahli matematika mencoba untuk mendefinisikan struktur tak terbatas
yang paling umum dibayangkan karena itu tampaknya memberikan harapan paling
baik, jika himpunan tidak terbatas ada maka akan menjadi landasan matematika
yang kokoh. Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa matematika harus langsung terhubung
ke sifat program non-deterministic di alam semesta yang potensial tidak
terbatas, hal ini akan membatasi ekstensi untuk sebuah himpunan bilangan
ordinal dan himpunan yang dapat dibangun dari mereka. Obyek didefinisikan dalam
suatu sistem matematis yang formal tidak peduli apakah aksioma tak terhingga
itu termasuk yang dimasukkan, dan bahwa sistem formal dapat diartikan sebagai
suatu program komputer untuk menghasilkan teorema di mana program tersebut
dapat menghasilkan semua nama-nama benda atau himpunan yang didefinisikan dalam
sistem tersebut. Selanjutnya, semua bilangan kardinal yang lebih besar yang
pernah didefinisikan dalam sistem matematika yang terbatas, tidak akan dihitung
dari dalam sistem tersebut.
REFERENSI
Beth,
Evert W. 1962. Formal methods.
Dordrecth: D. Reidel Publishing Company
Guerrier. 2008. Truth versus validity in
mathematical proof. ZDM Mathematics
Education, 40 (1) p.373-384
Marsigit. 2010. Modul filsafat ilmu. Universitas Negeri Yogyakarta.
_______. 2012. Sejarah dan filsafat Matematika. Disampaikan pada Workshop Guru SMK
RSBI Yogyakarta.
0 komentar:
Posting Komentar