Minggu, 04 Oktober 2015

Kisah Daun Bawang dan Daun Serai

1



Jumat di pagi hari itu, menjadi bagian dari detak detik yang berkesan dalam hidupku. Bersama partner satu kontrakan -sebut saja Anur-, kami ditugaskan untuk berbelanja sayur-sayuran di pasar terdekat untuk keperluan memasak nanti siang. Sebenarnya ini bukan kali pertama bagiku untuk berbelanja di pasar. Namun tetap saja hal tersebut menjadi hal yang menantang karena adanya perbedaaan istilah sayur mayur antara Kaltim dan Jogjakarta. Sehingga selalu ada kesan yang membekas setiap kali berbelanja di sana. 


Tugas kami sebenarnya cukup sederhana, yakni membeli sayur-mayur yang termasuk dalam komposisi untuk memasak sup. Maka ditetapkanlah untuk membeli wortel, kentang, daun sop (penjual di sini menyebutnya seledri), buncis dan daun bawang. Dengan berbekal pengetahuan sayur beserta harganya yang ala kadar, misi pun segera dieksekusi. Proses berbelanja berjalan lancar, hingga pada akhirnya tersisa daun bawang yang belum berhasil kami temukan. Beberapa lapak sayur yang kami susuri tak nampak wujud dari daun bawang tersebut. Hingga suatu ketika Anur spontan menunjuk daun serai seraya berkata bahwa itulah daun bawang yang kami cari. Jujur saja, mendengar pernyataan itu membuat aku jadi bimbang dengan pengetahuanku tentang daun bawang. Karena pemahamanku tentang sayur mayur masih berserakan antara pembicaraan di dapur rumah ataupun acara demo masak di televisi. Ketika itu, aku katakan dengan tegas –meski hati gamang- bahwa itu bukanlah daun bawang yang kami cari, seraya mengajaknya untuk berpindah lapak agar tidak malu-maluin. Karena tidak berhasil menemukan daun bawang di lapak terdekat, maka kami pun berpencar. Aku memilih untuk membeli kue, sedangkan Anur melanjutkan untuk mencari daun bawang dan buncis yang terlupa untuk dibeli. Tidak lama berselang, Anur kembali dengan kantungan berisi buncis dan daun serai. Sambil mengangkat belanjaannya –yakni daun serai- dia mengatakan bahwa itulah daun bawang. Ingin rasanya mendebat saat itu. Tapi karena aku menjadi semakin ragu dengan pengetahuanku sendiri, akhirnya protes urung ku utarakan. Toh, daun serai yang menurutnya daun bawang telah dibeli. Singkat cerita, kami kembali ke kontrakan dan bersiap-siap untuk memasak. Dan akhirnya, terkuaklah kebenaran itu lewat penghuni kontrakan lainnya –sebut saja Ain- yang memang sering memasak. Telah jelas mana daun serai dan mana daun bawang bagiku ketika itu. Tidak diragukan lagi bahwa yang dibeli oleh Anur adalah daun serai yang dianggapnya daun bawang. Betapa menyesal saat itu karena meragu akan kebenaran pengetahuanku sendiri hanya karena ucapan optimis dari seorang Anur. Meskipun hal tersebut tidak sampai pada kekesalan apalagi kemarahan.


Maka perhatikanlah kawan, betapa ilmu pengetahuan menjadi penting dalam menjalani hidup yang ‘gelap’ dan penuh cabang ini. Tak cukup sekedar pengetahuan yang berserakan, apatah lagi yang sekedar melintas di pikiran. Namun pengetahuan itu mesti disusun dan dibangun menjadi sebuah konsep yang lengkap hingga menjadi ilmu. Karena pengetahuan yang berserakan akan mudah dihinggapi keraguan dan minim keyakinan. Sedangkan pengetahuan-pengetahuan yang dibangun menjadi ilmu akan menambah keyakinan dan kepercayaan diri, sekalipun keraguan berusaha untuk menggoyahkan.


Sebagaimana kisah daun bawang dan daun serai ini. Pengetahuanku yang berserakan tentang sayur mayur menjadi tidak cukup untuk meyakinkan Anur bahwa yang ia beli bukanlah daun bawang, melainkan daun serai. Yang terjadi malah aku mulai dihinggapi rasa ragu dengan pengetahuan yang ku miliki dan akhirnya menyerah pada pilihan Anur. Oleh karena itu, jikalau untuk membedakan daun bawang dan daun serai saja memerlukan ilmu, apatah lagi untuk membedakan baik buruk, benar salah, lurus bengkok pada setiap pilihan kehidupan. Kesalahan membeli daun bawang mungkin bisa diganti dengan lembaran uang untuk membeli daun bawang yang sebenarnya, dan kita ikhlas untuk mengganti kerugiannya. Tapi, sanggupkah kita menelan pahit kerugian atas pilihan hidup kita yang ternyata salah? Mari menjadi pembelajar sepanjang hayat, menuntut ilmu tuk bekal dan lentera dalam menjalani kehidupan yang ‘gelap’ dan penuh liku-liku.


Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran

(QS. Az-Zumar: 9)



Daun serai dan daun bawang itu pun disimpan di dapur secara berdampingan. Suatu kesempatan ketika tak sengaja aku melihatnya, aku pun tersenyum karena teringat kejadian itu. Ya, itulah pelajaran berharga dalam detak detik kisah daun bawang dan daun serai. Ia bukan tentang seorang anak yang mendapat perlakuan diskriminatif oleh ibu tirinya. Ia bukan pula sebagai ajang mempermalukan saudaranya. Ia adalah sebuah pengingat bagi penulis pribadi dan orang-orang yang dicintai disekitarnya. Untuk terus belajar dari setiap kejadian, merefleksi diri, lalu menjadi pribadi yang lebih baik lagi.


Wallahu a’lam bishshawwab.


Jogjakarta, 4 Oktober 2015

From (Kampung) Dero to Hero

1 komentar:

http://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html http://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html