Jumat di pagi hari itu, menjadi
bagian dari detak detik yang berkesan dalam hidupku. Bersama partner satu
kontrakan -sebut saja Anur-, kami ditugaskan untuk berbelanja sayur-sayuran di
pasar terdekat untuk keperluan memasak nanti siang. Sebenarnya ini bukan kali
pertama bagiku untuk berbelanja di pasar. Namun tetap saja hal tersebut menjadi
hal yang menantang karena adanya perbedaaan istilah sayur mayur antara Kaltim
dan Jogjakarta. Sehingga selalu ada kesan yang membekas setiap kali berbelanja
di sana.
Tugas kami sebenarnya cukup
sederhana, yakni membeli sayur-mayur yang termasuk dalam komposisi untuk
memasak sup. Maka ditetapkanlah untuk membeli wortel, kentang, daun sop (penjual
di sini menyebutnya seledri), buncis dan daun bawang. Dengan berbekal
pengetahuan sayur beserta harganya yang ala kadar, misi pun segera dieksekusi. Proses
berbelanja berjalan lancar, hingga pada akhirnya tersisa daun bawang yang belum
berhasil kami temukan. Beberapa lapak sayur yang kami susuri tak nampak wujud
dari daun bawang tersebut. Hingga suatu ketika Anur spontan menunjuk daun serai
seraya berkata bahwa itulah daun bawang yang kami cari. Jujur saja, mendengar
pernyataan itu membuat aku jadi bimbang dengan pengetahuanku tentang daun
bawang. Karena pemahamanku tentang sayur mayur masih berserakan antara pembicaraan
di dapur rumah ataupun acara demo masak di televisi. Ketika itu, aku katakan
dengan tegas –meski hati gamang- bahwa itu bukanlah daun bawang yang kami cari,
seraya mengajaknya untuk berpindah lapak agar tidak malu-maluin. Karena tidak
berhasil menemukan daun bawang di lapak terdekat, maka kami pun berpencar. Aku
memilih untuk membeli kue, sedangkan Anur melanjutkan untuk mencari daun bawang
dan buncis yang terlupa untuk dibeli. Tidak lama berselang, Anur kembali dengan
kantungan berisi buncis dan daun serai. Sambil mengangkat belanjaannya –yakni daun
serai- dia mengatakan bahwa itulah daun bawang. Ingin rasanya mendebat saat itu.
Tapi karena aku menjadi semakin ragu dengan pengetahuanku sendiri, akhirnya
protes urung ku utarakan. Toh, daun serai yang menurutnya daun bawang telah
dibeli. Singkat cerita, kami kembali ke kontrakan dan bersiap-siap untuk
memasak. Dan akhirnya, terkuaklah kebenaran itu lewat penghuni kontrakan
lainnya –sebut saja Ain- yang memang sering memasak. Telah jelas mana daun
serai dan mana daun bawang bagiku ketika itu. Tidak diragukan lagi bahwa yang
dibeli oleh Anur adalah daun serai yang dianggapnya daun bawang. Betapa
menyesal saat itu karena meragu akan kebenaran pengetahuanku sendiri hanya
karena ucapan optimis dari seorang Anur. Meskipun hal tersebut tidak sampai
pada kekesalan apalagi kemarahan.
Maka perhatikanlah kawan, betapa
ilmu pengetahuan menjadi penting dalam menjalani hidup yang ‘gelap’ dan penuh
cabang ini. Tak cukup sekedar pengetahuan yang berserakan, apatah lagi yang
sekedar melintas di pikiran. Namun pengetahuan itu mesti disusun dan dibangun
menjadi sebuah konsep yang lengkap hingga menjadi ilmu. Karena pengetahuan yang
berserakan akan mudah dihinggapi keraguan dan minim keyakinan. Sedangkan pengetahuan-pengetahuan
yang dibangun menjadi ilmu akan menambah keyakinan dan kepercayaan diri,
sekalipun keraguan berusaha untuk menggoyahkan.
Sebagaimana kisah daun bawang dan
daun serai ini. Pengetahuanku yang berserakan tentang sayur mayur menjadi tidak
cukup untuk meyakinkan Anur bahwa yang ia beli bukanlah daun bawang, melainkan daun
serai. Yang terjadi malah aku mulai dihinggapi rasa ragu dengan pengetahuan
yang ku miliki dan akhirnya menyerah pada pilihan Anur. Oleh karena itu, jikalau
untuk membedakan daun bawang dan daun serai saja memerlukan ilmu, apatah lagi
untuk membedakan baik buruk, benar salah, lurus bengkok pada setiap pilihan
kehidupan. Kesalahan membeli daun bawang mungkin bisa diganti dengan lembaran
uang untuk membeli daun bawang yang sebenarnya, dan kita ikhlas untuk mengganti
kerugiannya. Tapi, sanggupkah kita menelan pahit kerugian atas pilihan hidup
kita yang ternyata salah? Mari menjadi pembelajar sepanjang hayat, menuntut
ilmu tuk bekal dan lentera dalam menjalani kehidupan yang ‘gelap’ dan penuh
liku-liku.
“Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang
mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang
berakallah yang dapat menerima pelajaran”
(QS. Az-Zumar: 9)
Daun serai dan daun bawang itu pun
disimpan di dapur secara berdampingan. Suatu kesempatan ketika tak sengaja aku
melihatnya, aku pun tersenyum karena teringat kejadian itu. Ya, itulah
pelajaran berharga dalam detak detik kisah daun bawang dan daun serai. Ia bukan
tentang seorang anak yang mendapat perlakuan diskriminatif oleh ibu tirinya. Ia
bukan pula sebagai ajang mempermalukan saudaranya. Ia adalah sebuah pengingat
bagi penulis pribadi dan orang-orang yang dicintai disekitarnya. Untuk terus
belajar dari setiap kejadian, merefleksi diri, lalu menjadi pribadi yang lebih
baik lagi.
Wallahu a’lam bishshawwab.
Jogjakarta, 4 Oktober 2015
From (Kampung) Dero to Hero
mendidik.
BalasHapus