Selasa, 13 Oktober 2015

MEMBANGUN MODEL KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL DALAM PERSPEKTIF ISLAM

0


(Sebuah Refleksi Menyambut 1437 H)

            Kepemimpinan merupakan salah satu unsur yang penting dalam kehidupan manusia. Fitrah manusia untuk hidup bersama dalam sebuah kelompok (zoon politicon), secara otomotis memerlukan sosok yang mampu menjadi rujukan dalam menentukan visi dan tujuan bersama. Ketiadaan kepemimpinan akan berdampak pada ketidakteraturan dan ketidakefektifan dalam mencapai visi dan tujuan bersama tersebut. Begitu pula dalam Islam, kepemimpinan dipandang sebagai sarana (washilah) dalam menegakkan syari’at Islam di Bumi. Isyarat tentang penting kepemimpinan telah Allah SWT sampaikan dalam surah Al Anbiya ayat 73,

“Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada mereka untuk mengerjakan kebajikan, mendirikan sholat, menunaikan zakat dan hanya kepada Kami-lah mereka selalu menyembah.” (QS. Al Anbiya [21]: 73)

            Dewasa ini, perkembangan sosial kemasyarakatan yang begitu pesat telah mengakibatkan terjadinya pergeseran paradigma manusia dalam berbagai bidang kehidupan, tak terkecuali kepemimpinan. Sehingga kini berkembang berbagai model kepemimpinan sebagai bentuk respon dari pergeseran paradigma tersebut. Secara umum, perkembangan model kepemimpinan terbagi menjadi tiga bagian, yaitu model kepemimpinan transaksional, transformasional dan spiritual.
Pada kepemimpinan transaksional, pemimpin dapat memimpin secara efektif ketika ada kesepakatan yang sifatnya transaksional (untung rugi, saya dan kamu dapat apa) antara atasan dan bawahan. Pada masa kepemimpinan transformasional, pemimpin dan kepemimpinan disadari sebagai alat yang penting dalam melakukan perubahan sosial secara efektif. Sedangkan pada masa kepemimpinan spiritual, kepemimpinan berfokus pada penanaman nilai-nilai ketuhanan kepada individu organisasi dalam mewujudkan perubahan yang lebih optimal.
Berkaca pada pemilihan legislatif dan presiden yang masih sarat dengan tindakan money politic, menunjukkan bahwa model kepemimpinan transaksional masih menjadi paradigma dari sebagian besar masyarakat Indonesia. Tercatat kasus tindakan money politic menduduki peringkat pertama dari sekian banyak jenis pelanggaran yang terjadi pada pemilu legslatif tahun lalu, yakni 77 kasus dari 286 kasus (27%). Tindakan money politic yang tidak hanya terjadi dikalangan masyarakat menengah ke bawah, tetapi juga kalangan masyarakat atas, secara tidak langsung mendidik masyarakat Indonesia menjadi pribadi yang materialis dan komersil dalam menyikapi pemilu. Padahal pemilu tidak sekedar momentum peralihan kekuasaan, tetapi momentum untuk melakukan perbaikan terhadap kondisi bangsa. Sehingga perlu upaya perubahan paradigma kepemimpinan masyarakat Indonesia, dari model kepemimpinan transaksional yang cenderung pasif dan materialis menuju model kepemimpinan yang mampu mewujudkan perubahan sosial secara efektif melalui pemberdayaan individu.
Di satu sisi, model kepemimpinan spiritual dinilai hanya mentitikberatkan penanaman nilai-nilai spiritual secara praktis (shalat, puasa, haji, zakat, dan sebagainya) kepada setiap individu. Sehingga model kepemimpinan spiritual masih kurang relevan untuk dijadikan paradigma kepemimpinan masyarakat Indonesia saat ini yang heterogen. Tetapi, nilai-nilai Islam tetap diperlukan sebagai komponen yang membangun paradigma kepemimpinan Indonesia agar terbentuk tatanan kehidupan yang Islami. Sehingga model kepemimpinan transformasional yang dibangun dan dikaji dari teori-teori kepemimpinan transformasional dan nilai-nilai Islam merupakan sebuah solusi dalam membangun paradigma kepemimpinan Indonesia.
A.    Model Kepemimpinan Transformasional
Model kepemimpinan transformasional dicetuskan pertama kali oleh J. M. Burns pada tahun 1978 sebagai bentuk pendekatan kepemimpinan dalam mencapai tujuan. J. M. Burns berpendapat bahwa:
Transformastional leadership serves to change the status quo by articulating to followers the problems in the currents system and a compelling vision of what a new organization could be.” (Achua, 2010: 304)
Terjemah: “Kepemimpinan transformasional berperan dalam mengubah status quo (kekiniian, kedisinian) dengan membongkar semua masalah yang ada pada sistem dan menunjukkannya kepada para anggota/pengikut, kemudian memunculkan sebuah visi baru tentang bagaimana organisasi ini seharusnya di masa yang akan datang.”
Selain definisi di atas, kepemimpinan transformasional memiliki berbagai definisi yang dipaparkan oleh pakar kepemimpinan dan manajemen SDM, di antaranya adalah sebagai berikut.
1.      Gibson dkk (1992: 86) berpendapat bahwa kepemimpinan transformasional adalah kepemimpinan untuk memberi inspirasi dan memotivasi para pengikut untuk mencapai hasil-hasil yang lebih besar daripada yang direncanakan. Kepemimpinan transformasional bukan sekedar mempengaruhi pengikutnya untuk mencapai tujuan yang diinginkan, melainkan merngubah sikap dan nilai-nilai dasar para pengikut melalui pemberdayaan.
2.      Chandra (2004: 55) berpendapat bahwa kepemimpinan transformasional dibangun oleh empat karakter, yaitu: inspiring (memunculkan inspirasi), stimulating (memunculkan minat), coaching (membimbing), dan team building (membangun tim yang solid).
3.      Anderson (Usman, 2006: 285) berpendapat bahwa kepemimpinan transformasional adalah visi, perencanaan komunikasi dan tindakan kreatif yang memiliki efek positif pada sekelompok orang dalam sebuah susunan nilai dan keyakinan yang jelas, untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka disimpulkan bahwa kepemimpinan transformasional adalah kemampuan mempengaruhi dan mengubah kondisi dengan kekuatan visi, motivasi dan nilai-nilai dasar yang dikomunikasikan kepada anggota, sehingga terjadi perubahan positif pada individu anggota dan terwujudnya perubahan sosial secara optimal.
            Dalam prosesnya, kepemimpinan transformasional melibatkan perubahan pola pikir, sikap dan tingkah laku individu anggota yang mampu memberikan dampak positif bagi suatu lembaga atau perusaahaan. Sehingga sebagian besar pakar dan praktisi kepemimpinan sepakat bahwa kepemimpinan transformasional mampu membawa perubahan secara signifikan (Achua, 2010: 311). Adapun proses kepemimpinan transformasional dilaksanakan dalam empat tahapan, yaitu sebagai berikut.
1.      Mendorong terciptanya perubahan. Hal ini dilakukan dengan meningkatkan kepekaan anggota pada kondisi lingkungan, mengenali ancaman dan peluang, lalu  menggagas sebuah perubahan dengan memperhatikan segala resikonya.
2.      Memunculkan visi bersama. Hal ini dilakukan dengan melibatkan seluruh anggota dalam menentukan masa depan bersama, lalu menjadikannya sebuah ideology dalam bergerak, bukan sekedar aturan pekerjaan.
3.      Mengawal proses perubahan. Hal ini dilakukan dengan terus menumbuhkan kesadaran akan pentingnya sikap dinamis. Senantiasa memberikan kepercayaan, dukungan dan bimbingan kepada anggota dalam meningkatkan kepercayaang diri dan rasa optimis mereka.
4.      Perubahan yang permanen. Hal ini dilakukan dengan senantiasa menghargai setiap pencapaian dan terus membantu anggota dalam menentukan visi dalam berubah, serta mempersiapkan pemimpin yang mampu menjadi teladan bagi anggotanya.
(Achua, 2010: 311)
Proses kepemimpinan transformasional dalam mewujudkan perubahan yang signifikan perlu didukung dengan keterampilan dan karakter tertentu. Kanungo dan Mendoca (Tobroni, 2005: 40) berpendapat bahwa sumber pengaruh kepemimpinan transformasional ada dua, yaitu kekuasaan keahlian dan kekuasaan referensi. Kekuasaan keahlian akan membuat seorang pemimpin memiliki kredibilitas sehingga dipercaya oleh anggotanya. Sedangkan kekuasaan referensi akan membuat seorang pemimpin memiliki daya tarik bagi para pengikutnya karena sikapnya yang altruistik (mengutamakan orang lain). Bass dan Alivio (Achua, 2010: 306) berpendapat bahwa kepemimpinan transformasional dibangun oleh empat dimensi karakter, yang kemudian dikenal dengan istilah “four I’s”. Empat karakter tersebut adalah sebagai berikut
  1. Idealized influence (berkharisma). Pemimpin yang kharismatik memiliki kemampuan untuk memberi pengaruh yang kuat terhadap anggota. Sehingga anggota pun memiliki ideology yang sama dan memiliki ikatan emosional yang kuat dengan pemimpinnya. 
  2.  Inspirational motivation (memotivasi dan menginspirasi). Pemimpin transformasional adalah pemimpin yang menginspirasi. Kemampuannya mengkomunikasikan visi dan menerapkannya dalam aktivitas sehari-hari membuat anggotanya menjadi tertarik dan lebih termotivasi untuk mencapai tujuan. 
  3.  Individual consideration (perhatian secara individu). Hal ini menunjukkan bahwa pemimpin transformasional merupakan seorang mentor. Pemimpin melayani anggotanya dengan membantu mereka dalam meningkatkan kemampuannya dan memenuhi segala kebutuhannya. 
  4.  Intellectual stimulation (kecerdasan memunculkan minat). Pemimpin transformasional adalah pemimpin yang kreatif dan selalu berpikir ‘out of the box’. Dia akan mendorong anggotanya untuk melakukan pendekatan-pendekatan baru terhadap masalah-masalah klasik melalui berpikir kritis.
Penerapan model kepemimpinan transformasional yang didukung oleh karakter dan keterampilan akan berpengaruh secara simultan terhadap perkembangan personal dan produktivitas setiap komponen organisasi. Kepemimpinan transformasional membentuk pemimpin sebagai agen aktif dalam perubahan positif, yang antara lain mampu mengubah lingkungan, organisasi, kelompok, dan pribadi. Hal ini ditegaskan oleh Xenikou (2006: 566) bahwa:
Research studies have consistently revealed that transformational leadership is positively related to individual, group, and organizational performance.
Terjemah: “Studi penelitian secara konsisten menemukan bahwa kepemimpinan transformasional memiliki hubungan positif terhadap kondisi individu, kelompok, dan organisasi.”
Sehingga, secara umum kepemimpinan transformasional mampu mewujudkan perubahan sosial yang signifikan melalui pembentukan nilai-nilai dasar individu.
B.     Nilai-Nilai Transformasional dalam Perspektif Islam
Istilah transformasional memiliki kesamaan makna dengan kata hijrah, sebagaimana yang termaktub dalam Al Qur’an surah At Taubah ayat 20,

“Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan.” (QS. At Taubah [9]: 20)
            Hijrah menurut bahasa berarti meninggalkan, pergi dari Bumi, berpindah dari sesuatu dan berpisah darinya dengan jasmani atau ucapan atau hati (Muhammad, 2004: 15). Secara maknawi, hijrah berarti berpindahnya seorang mukmin dari apa yang dilarang oleh Allah SWT kepada apa yang diperintahkan oleh Allah SWT (Jazuli, 2006: 324). Artinya, hijrah tidak selalu mengharuskan perpindahan secara fisik atau dari satu tempat ke tempat lain. Tetapi hijrah dapat berarti seseorang yang meninggalkan perbuatan maksiat dan tidak menoleh kepada hal-hal yang menyebabkan Allah SWT murka; meninggalkan seluruh dosa dan kesalahan dengan berpindah kepada taqwa, petunjuk, dan kemaslahatan; dari keburukan akhlak menuju kepada kemuliaan akhlak. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW,

“Hijrah adalah engkau meninggalkan segala kekejian baik yang tampak maupun yang tersembunyi. Engkau mendirikan shalat, menunaikan zakat, kemudian engkau disebut sebagai Muhajir sekalipun engkau tetap berada di tempatmu.” (Musnad Ahmad 2: 224)
            Hijrah merupakan konsekuensi dari keimanan yang sempurna, menuntut kesabaran dan merupakan puncak dari jihad. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surah An Nahl ayat 110,

“Dan sesungguhnya Tuhanmu (pelindung) bagi orang-orang yang berhijrah sesudah menderita cobaan, kemudian mereka berjihad dan bersabar; sesungguhnya Tuhanmu sesudah itu benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(QS. An Nahl [16]: 110)
Sayyid Quthb (2009: 374) menjelaskan ayat di atas bahwa sabar merupakan wasiat Allah kepada setiap rasul. Dan terus menerus diulang hingga sampai kepada kaum muslimin yang beriman kepada Rasul-Nya. Hijrah adalah bentuk dari sebuah jihad. Jihad melawaaan hawa nafsu, penyimpangan, kebodohan, dan kehinaan diri-diri kita. Dalan perjalanannya, seringkali jiwa para pelakunya melemah, lesu dan tidak bersemangat karena beratnya beban dan tantangan yang harus dihadapi. Oleh karena itu, membekali diri dengan kesabaran merupakan keharusan untuk menghadapi tantangan tersebut.
            Perjalanan hijrah Rasulullah SAW bersama para sahabat dan pengikutnya merupakan sebuah pelajaran bahwa keimanan yang begitu mendalam terhadap apa yang Rasulullah ajarkan membuat umat muslim saat itu rela meninggalkan harta benda, sanak saudara, dan tempat kelahirannya demi meraih kemerdekaan dalam berislam. Dalam perjalanan hijrah pun tidak sedikit tantangan dan ujian yang mesti dihadapi umat Islam. Pemboikotan, teror, tekanan mental, fitnah hingga penyiksaan secara fisik. Namun ujian dan cobaan tersebut dilalui oleh Rasulullah SAW beserta sahabat dan para pengikutnya dengan penuh kesabaran dan keyakinan akan terwujudnya perubahan positif pada kondisi umat Islam. Hingga pada akhirnya, perjalanan hijrah tersebut kemudian menjadi titik balik dari munculnya peradaban Islam yang merdeka dan bermartabat.
            Sejarah telah membuktikan bahwa peristiwa hijrah telah memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kondisi Islam. Muhammad (2004: 16) menjelaskan bahwa setelah 13 belas tahun kaum muslimin menghabiskan waktu di Makkah sebagai umat yang tidak memiliki kekuasaan dan hak suara, dengan hijrah mereka menjadi kaum yang terhormat, memiliki kekuasaan, pengetahuan, kebudayaan dan peradaban yang menyebar ke ujung Barat dan Timur. Sebelum hijrah, kondisi masyarakat Arab berada dalam bayang-bayang kebodohan, fanatisme buta, dan kezhaliman. Namun setelah hijrah, muncullah rasa keadilan, kasih sayang, kesamaan, dan kemerdekaan.
            Perubahan signifikan yang dialami oleh kaum muslimin pasca hijrah tidak terlepas dari perubahan pola pikir, sikap dan tingkah laku yang terjadi pada setiap pribadi muslim saat itu. Sebagaimana yang disampaikan oleh M. Quraish Shihab (2009: 383) bahwa dalam Al Qur’an, perubahan dapat terwujud bila dipenuhi dua syarat utama, yaitu adanya nilai atau ide; dan adanya pelaku-pelaku yang menyesuaikan diri dengan nilai-nilai tersebut. Keberhasilan Rasulullah melakukan transformasi terhadap kaum muslimin secara khusus dan masyarakat Arab secara umum tidak terlepas dari kemampuan beliau dalam menanamkan nilai-nilai Islam kepada para sahabatnya. Tidak ada satu pun pola pikir, sikap dan tingkah laku yang hendak Islam perbaiki, kecuali semuanya diuraikan dengan argumen-argumen yang rasional, menyentuh hati dan disertai keteladanan.
C.     Membangun Model Kepemimpinan Transformasional dalam Perspektif Islam
Dewasa ini, Indonesia memerlukan sosok pemimpin yang transformatif, yakni sosok pemimpin yang mampu membawa Indonesia menuju perubahan yang positif dan membalikkan kondisi Indonesia yang sedang terpuruk. Sebagaimana karakter pemimpin yang Allah SWT jelaskan dalam surah An Nur ayat 55,

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka Bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada menyekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An Nur [24]: 55)
            Berdasarkan kajian terhadap teori kepemimpinan transformasional dan nilai-nilai transformasional dalam perspektif Islam, maka terdapat beberapa aspek yang membangun model kepemimpinan transformasional dalam perspektif Islam, yaitu sebagai berikut.
1.      Kepemimpinan adalah sebuah amanah
Kepercayaan atau amanah merupakan prinsip utama dalam kepemimpinan. Dan kepercayaan tersebut hanya bisa diraih ketika seorang pemimpin menunjukkan karakter dan kompetensi yang layak. Sebagaimana kepemimpinan Rasulullah yang berdiri kokoh berasal dari pondasi kepercayaan yang diberikan oleh para pengikutnya. M. Syafii Antonio (2014: 175) menjelaskan bahwa gelar Al Amin yang disematkan kepada Rasulullah tidak terjadi dalam satu malam (trust is not built in overnight). Melainkan melalui sebuah proses kejujuran dan profesionalitas dalam bekerja. Oleh karena itu, Allah SWT memerintahkan untuk memenuhi setiap amanah kepemimpinan dengan sebaik mungkin.

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. An Nisa [4]: 58)

Al Maragi (1974: 70) menjelaskan bahwa dari ayat di atas amanah diklasifikasikan menjadi tiga macam, yaitu: 1) tanggung jawab kepada Tuhan, 2) tanggung jawab kepada sesama manusia, dan 3) tanggung jawab kepada diri sendiri. Sehingga setiap orang yang beriman wajib menunaikan amanah yang diberikan kepada mereka, yakni kepemimpinan, baik itu yang berasal dari Allah SWT maupun dari sesama manusia.
2.   Menitikberatkan perubahan pola pikir, sikap dan tingkah laku individu sebagai komponen terkecil
Kepemimpinan transformasional dalam mewujudkan perubahan yang efektif berawal dari upaya perubahan pola pikir, sikap, dan tingkah laku individu sebagai komponen terkecil dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Karena individu itulah pelaku yang diinginkan untuk menciptakan perubahan. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surah Ar Ra’du ayat 11,

“…sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri…” (QS. Ar Ra’du [13]: 11)
M. Quraish Shihab (2009: 384) menjelaskan bahwa ayat di atas berbicara tentang dua macam perubahan dengan dua pelaku. Pertama, perubahan masyarakat yang pelakunya adalah Allah SWT. Kedua, perubahan keadaan diri manusia yang pelakunya adalah manusia. Kata ‘anfus’ pada ayat di atas, terdiri dari dua unsur pokok, yaitu nilai-nilai yang dihayati dan iradah atau kehendak manusia. Perpaduan keduanya menciptakan kekuatan pendorong untuk melakukan perubahan. Selain itu, perubahan yang diharapkan terjadi pada setiap individu tidak hanya perubahan yang sifatnya fisik. Tetapi perubahan pola pikir, sikap dan tingkah laku yang bermuara pada kebaikan di bidang ekonomi, sosial, politik, budaya, hukum dan sebagainya. Sehingga langkah awal yang dilakukan oleh seorang pemimpin transformatif adalah memperbaiki dirinya sendiri.
3.      Keteladanan
Keberhasilan Rasulullah SAW dalam menanamkan nilai-nilai Islam ke dalam diri para sahabat tidak terlepas dari keteladanan beliau sebagai seorang pemimpin. Dengan keteladanan yang mulia, beliau menjadi sosok inspirator dan motivator terbaik di dunia. David George Hogarth (1922: 5) berpendapat bahwa: “Tindak-tanduk kesehariannya, yang serius ataupun yang sepele, menjadi hukum yang ditaati dan ditiru secara sadar oleh jutaan orang masa kini.” Imron Fauzi (2012: 220) berpendapat bahwa Rasulullah SAW adalah Al Qur’an yang hidup (the Living Qur’an). Artinya, pada diri Rasulullah SAW tercermin semua ajaran Al Qur’an dalam bentuk nyata. Oleh karena itu, para sahabat dimudahkan dalam mengamalkan ajaran Islam, yakni dengan meniru perilaku Rasulullah SAW. Allah SWT berfirman,

“Sesungguhnya telah ada pada (diri ) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al Ahzab [33]: 21)
4.      Berdedikasi
Seorang pemimpin transformatif akan mendedikasikan seluruh hidupnya di jalan kebaikan, kebenaran dan memperhatikan umatnya demi meraih kebaikan bersama. Nilai-nilai luhur yang seorang pemimpin miliki akan ditularkan kepada pengikutnya agar setiap individu mengalami perubahan secara positif. Seorang pemimpin transformative tidak akan pernah berhenti untuk memotivasi, menginspirasi, dan membimbing umatnya untuk melakukan perubahan secara individu demi mencapai perubahan sosial yang efektif. Sehingga model kepemimpinan transformasional tidak hanya mengorbankan waktu, tenaga, pikiran dan harta. Tetapi juga gaji, status, jabatan, kekuasaan, dan keistimewaan lainnya demi terwujudnya perubahan yang diinginkan. Karen sesungguhnya pemimpin sejati adalah pemimpin yang melayani. Sebagaimana Rasulullah SAW selalu melayani sepenuh hati kepentingan rakyat dan umat yang membutuhkan tanpa membeda-bedakan latar belakang sosial mereka. M. Syafii Antonio (2014: 288) menjelaskan bahwa melayani sepenuh hati yang diinspirasikan oleh Rasulullah SAW menunjukkan kepribadian yang positif, proaktif, bersemangat dalam merespon siapapun yang memerlukan, serta bersama mengajak untuk terus maju. Rasulullah SAW bersabda,
“Siapa yang memimpin, sedangkan ia tidak memperhatikan urusan kaum muslimin, tidaklah ia termasuk ke dalam golongan mereka.” (HR. Bukhari Muslim)
5.      Berkarya dan kreatif
Seorang pemimpin transformatif dituntut menghasilkan banyak karya yang berguna dan bermanfaat bagi anggotanya. Selain itu, kreatifitas dalam memberdayakan sumber daya manusia (anggota) juga diperlukan dalam mewujudkan perubahan secara efektif. Dalam Al Qur’an, Allah SWT memerintahkan untuk melakukan pekerjaan yang berguna, produktif, dan menghasilkan karya.

“Dan katakanlah,’Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang Mengetahui akan yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. At Taubah [9]: 105)
Muchlis (2012: 207-208) menjelaskan bahwa  ayat ini memiliki tiga pokok pikiran, yaitu: 1) perintah untuk bekerja, berkarya dan beramal, 2) pekerjaan yang dilakukan apapun itu akan dievaluasi oleh Allah, Rasul dan orang-orang mukmin, 3) hasil pekerjaan itu akan dinampakkan pada hari kiamat kelak. Dengan demikian, seorang pemimpin transformative dalam perspektif Islam dituntut untuk berkarya yang bermanfaat bagi anggotanya dan kreatif dalam memberdayakan anggotanya dengan berbagai inovasi dalam rangka terwujudnya perubahan secara efektif.
            Demikianlah, terdapat lima aspek yang membangun model kepemimpinan transformasional dalam perspektif Islam, yaitu: 1) Kepemimpinan sebagai amanah, 2) Perubahan individu sebagai komponen terkecil, 3) Keteladanan, 4) Berdedikasi, 5) Berkarya dan kreatif. Kelima aspek ini tidak hanya akan membawa Indonesia menuju perubahan yang lebih baik. Tetapi juga mengukuhkan nilai-nilai kepemimpinan Islam yang bermuara kepada terbentuknya tatanan kehidupan masyarakat Indonesia yang Islami.
Wallahu a’lam bishshawwab.  

0 komentar:

Posting Komentar

http://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html http://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html