(Sebuah Refleksi Menyambut 1437 H)
Kepemimpinan merupakan salah satu unsur yang penting dalam kehidupan manusia. Fitrah manusia untuk hidup bersama dalam sebuah kelompok (zoon politicon), secara otomotis memerlukan sosok yang mampu menjadi rujukan dalam menentukan visi dan tujuan bersama. Ketiadaan kepemimpinan akan berdampak pada ketidakteraturan dan ketidakefektifan dalam mencapai visi dan tujuan bersama tersebut. Begitu pula dalam Islam, kepemimpinan dipandang sebagai sarana (washilah) dalam menegakkan syari’at Islam di Bumi. Isyarat tentang penting kepemimpinan telah Allah SWT sampaikan dalam surah Al Anbiya ayat 73,
“Kami
telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk
dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada mereka untuk mengerjakan
kebajikan, mendirikan sholat, menunaikan zakat dan hanya kepada Kami-lah mereka
selalu menyembah.” (QS. Al Anbiya [21]: 73)
Dewasa
ini, perkembangan sosial kemasyarakatan yang begitu pesat telah mengakibatkan
terjadinya pergeseran paradigma manusia dalam berbagai bidang kehidupan, tak
terkecuali kepemimpinan. Sehingga kini berkembang berbagai model kepemimpinan
sebagai bentuk respon dari pergeseran paradigma tersebut. Secara umum,
perkembangan model kepemimpinan terbagi menjadi tiga bagian, yaitu model kepemimpinan transaksional,
transformasional dan spiritual.
Pada
kepemimpinan transaksional, pemimpin dapat memimpin secara efektif ketika ada
kesepakatan yang sifatnya transaksional (untung rugi, saya dan kamu dapat apa)
antara atasan dan bawahan. Pada masa kepemimpinan transformasional, pemimpin
dan kepemimpinan disadari sebagai alat yang penting dalam melakukan perubahan
sosial secara efektif. Sedangkan pada masa kepemimpinan spiritual, kepemimpinan
berfokus pada penanaman nilai-nilai ketuhanan kepada individu organisasi dalam
mewujudkan perubahan yang lebih optimal.
Berkaca
pada pemilihan legislatif dan presiden yang masih sarat dengan tindakan money politic, menunjukkan bahwa model
kepemimpinan transaksional masih menjadi paradigma dari sebagian besar
masyarakat Indonesia. Tercatat kasus tindakan money politic menduduki peringkat pertama dari sekian banyak jenis
pelanggaran yang terjadi pada pemilu legslatif tahun lalu,
yakni 77 kasus dari 286 kasus (27%). Tindakan money politic yang tidak hanya terjadi dikalangan masyarakat
menengah ke bawah, tetapi juga kalangan masyarakat atas, secara tidak langsung
mendidik masyarakat Indonesia menjadi pribadi yang materialis dan komersil
dalam menyikapi pemilu. Padahal pemilu tidak sekedar momentum peralihan
kekuasaan, tetapi momentum untuk melakukan perbaikan terhadap kondisi bangsa.
Sehingga perlu upaya perubahan paradigma kepemimpinan masyarakat Indonesia,
dari model kepemimpinan transaksional yang cenderung pasif dan materialis
menuju model kepemimpinan yang mampu mewujudkan
perubahan sosial secara efektif melalui pemberdayaan individu.
Di
satu sisi, model kepemimpinan spiritual dinilai hanya mentitikberatkan
penanaman nilai-nilai spiritual secara praktis (shalat, puasa, haji, zakat, dan
sebagainya) kepada setiap individu. Sehingga model kepemimpinan spiritual masih
kurang relevan untuk dijadikan paradigma kepemimpinan masyarakat Indonesia saat
ini yang heterogen. Tetapi, nilai-nilai Islam tetap diperlukan sebagai komponen
yang membangun paradigma kepemimpinan Indonesia agar terbentuk tatanan
kehidupan yang Islami. Sehingga model kepemimpinan transformasional yang
dibangun dan dikaji dari teori-teori kepemimpinan transformasional dan
nilai-nilai Islam merupakan sebuah solusi dalam membangun paradigma
kepemimpinan Indonesia.
A.
Model
Kepemimpinan Transformasional
Model
kepemimpinan transformasional dicetuskan pertama kali oleh J. M. Burns pada
tahun 1978 sebagai bentuk pendekatan kepemimpinan dalam mencapai tujuan. J. M.
Burns berpendapat bahwa:
“Transformastional
leadership serves to change the status quo by articulating to followers the
problems in the currents system and a compelling vision of what a new
organization could be.” (Achua, 2010: 304)
Terjemah: “Kepemimpinan transformasional berperan dalam
mengubah status quo (kekiniian, kedisinian) dengan membongkar semua masalah
yang ada pada sistem dan menunjukkannya kepada para anggota/pengikut, kemudian memunculkan
sebuah visi baru tentang bagaimana organisasi ini seharusnya di masa yang akan
datang.”
Selain definisi di atas, kepemimpinan
transformasional memiliki berbagai definisi yang dipaparkan oleh pakar
kepemimpinan dan manajemen SDM, di antaranya adalah sebagai berikut.
1.
Gibson
dkk (1992: 86) berpendapat bahwa kepemimpinan transformasional adalah
kepemimpinan untuk memberi inspirasi dan memotivasi para pengikut untuk
mencapai hasil-hasil yang lebih besar daripada yang direncanakan. Kepemimpinan
transformasional bukan sekedar mempengaruhi pengikutnya untuk mencapai tujuan
yang diinginkan, melainkan merngubah sikap dan nilai-nilai dasar para pengikut
melalui pemberdayaan.
2.
Chandra
(2004: 55) berpendapat bahwa kepemimpinan transformasional dibangun oleh empat
karakter, yaitu: inspiring
(memunculkan inspirasi), stimulating (memunculkan
minat), coaching (membimbing), dan team building (membangun tim yang
solid).
3.
Anderson
(Usman, 2006: 285) berpendapat bahwa kepemimpinan transformasional adalah visi,
perencanaan komunikasi dan tindakan kreatif yang memiliki efek positif pada
sekelompok orang dalam sebuah susunan nilai dan keyakinan yang jelas, untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Berdasarkan beberapa definisi di atas,
maka disimpulkan bahwa kepemimpinan transformasional adalah kemampuan mempengaruhi dan mengubah kondisi dengan
kekuatan visi, motivasi dan nilai-nilai dasar yang dikomunikasikan kepada
anggota, sehingga terjadi perubahan positif pada individu anggota dan
terwujudnya perubahan sosial secara optimal.
Dalam prosesnya, kepemimpinan
transformasional melibatkan perubahan pola pikir, sikap dan tingkah laku
individu anggota yang mampu memberikan dampak positif bagi suatu lembaga
atau perusaahaan. Sehingga sebagian besar pakar dan praktisi kepemimpinan
sepakat bahwa kepemimpinan transformasional mampu membawa perubahan secara
signifikan (Achua, 2010: 311). Adapun proses kepemimpinan transformasional
dilaksanakan dalam empat tahapan, yaitu sebagai berikut.
1.
Mendorong
terciptanya perubahan. Hal ini dilakukan dengan meningkatkan kepekaan anggota
pada kondisi lingkungan, mengenali ancaman dan peluang, lalu menggagas sebuah perubahan dengan
memperhatikan segala resikonya.
2.
Memunculkan
visi bersama. Hal ini dilakukan dengan melibatkan seluruh anggota dalam
menentukan masa depan bersama, lalu menjadikannya sebuah ideology dalam
bergerak, bukan sekedar aturan pekerjaan.
3.
Mengawal
proses perubahan. Hal ini dilakukan dengan terus menumbuhkan kesadaran akan
pentingnya sikap dinamis. Senantiasa memberikan kepercayaan, dukungan dan
bimbingan kepada anggota dalam meningkatkan kepercayaang diri dan rasa optimis
mereka.
4.
Perubahan
yang permanen. Hal ini dilakukan dengan senantiasa menghargai setiap pencapaian
dan terus membantu anggota dalam menentukan visi dalam berubah, serta
mempersiapkan pemimpin yang mampu menjadi teladan bagi anggotanya.
(Achua, 2010: 311)
Proses
kepemimpinan transformasional dalam mewujudkan perubahan yang signifikan perlu
didukung dengan keterampilan dan karakter tertentu. Kanungo dan Mendoca
(Tobroni, 2005: 40) berpendapat bahwa sumber pengaruh kepemimpinan
transformasional ada dua, yaitu kekuasaan keahlian dan kekuasaan referensi.
Kekuasaan keahlian akan membuat seorang pemimpin memiliki kredibilitas sehingga
dipercaya oleh anggotanya. Sedangkan kekuasaan referensi akan membuat seorang
pemimpin memiliki daya tarik bagi para pengikutnya karena sikapnya yang
altruistik (mengutamakan orang lain). Bass dan Alivio (Achua, 2010: 306)
berpendapat bahwa kepemimpinan transformasional dibangun oleh empat dimensi
karakter, yang kemudian dikenal dengan istilah “four I’s”. Empat karakter tersebut adalah sebagai berikut
- Idealized influence (berkharisma). Pemimpin yang kharismatik memiliki kemampuan untuk memberi pengaruh yang kuat terhadap anggota. Sehingga anggota pun memiliki ideology yang sama dan memiliki ikatan emosional yang kuat dengan pemimpinnya.
- Inspirational motivation (memotivasi dan menginspirasi). Pemimpin transformasional adalah pemimpin yang menginspirasi. Kemampuannya mengkomunikasikan visi dan menerapkannya dalam aktivitas sehari-hari membuat anggotanya menjadi tertarik dan lebih termotivasi untuk mencapai tujuan.
- Individual consideration (perhatian secara individu). Hal ini menunjukkan bahwa pemimpin transformasional merupakan seorang mentor. Pemimpin melayani anggotanya dengan membantu mereka dalam meningkatkan kemampuannya dan memenuhi segala kebutuhannya.
- Intellectual stimulation (kecerdasan memunculkan minat). Pemimpin transformasional adalah pemimpin yang kreatif dan selalu berpikir ‘out of the box’. Dia akan mendorong anggotanya untuk melakukan pendekatan-pendekatan baru terhadap masalah-masalah klasik melalui berpikir kritis.
Penerapan
model kepemimpinan transformasional yang didukung oleh karakter dan
keterampilan akan berpengaruh secara simultan terhadap perkembangan personal
dan produktivitas setiap komponen organisasi. Kepemimpinan transformasional
membentuk pemimpin sebagai agen aktif dalam perubahan positif, yang antara lain
mampu mengubah lingkungan, organisasi, kelompok, dan pribadi. Hal ini
ditegaskan oleh Xenikou (2006: 566) bahwa:
“Research
studies have consistently revealed that transformational leadership is
positively related to individual, group, and organizational performance.”
Terjemah: “Studi penelitian secara konsisten menemukan
bahwa kepemimpinan transformasional memiliki hubungan positif terhadap kondisi
individu, kelompok, dan organisasi.”
Sehingga, secara
umum kepemimpinan transformasional mampu mewujudkan perubahan sosial yang
signifikan melalui pembentukan nilai-nilai dasar individu.
B.
Nilai-Nilai
Transformasional dalam Perspektif Islam
Istilah transformasional memiliki
kesamaan makna dengan kata hijrah, sebagaimana yang termaktub dalam Al Qur’an
surah At Taubah ayat 20,
“Orang-orang
yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan
diri mereka adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah dan itulah orang-orang
yang mendapat kemenangan.” (QS. At Taubah [9]: 20)
Hijrah
menurut bahasa berarti meninggalkan, pergi dari Bumi, berpindah dari sesuatu
dan berpisah darinya dengan jasmani atau ucapan atau hati (Muhammad, 2004: 15).
Secara maknawi, hijrah berarti berpindahnya seorang mukmin dari apa yang
dilarang oleh Allah SWT kepada apa yang diperintahkan oleh Allah SWT (Jazuli,
2006: 324). Artinya, hijrah tidak selalu mengharuskan perpindahan secara fisik
atau dari satu tempat ke tempat lain. Tetapi hijrah dapat berarti seseorang
yang meninggalkan perbuatan maksiat dan tidak menoleh kepada hal-hal yang
menyebabkan Allah SWT murka; meninggalkan seluruh dosa dan kesalahan dengan
berpindah kepada taqwa, petunjuk, dan kemaslahatan; dari keburukan akhlak
menuju kepada kemuliaan akhlak. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW,
“Hijrah
adalah engkau meninggalkan segala kekejian baik yang tampak maupun yang
tersembunyi. Engkau mendirikan shalat, menunaikan zakat, kemudian engkau
disebut sebagai Muhajir sekalipun engkau tetap berada di tempatmu.” (Musnad
Ahmad 2: 224)
Hijrah
merupakan konsekuensi dari keimanan yang sempurna, menuntut kesabaran dan merupakan puncak
dari jihad. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surah An Nahl ayat 110,
“Dan
sesungguhnya Tuhanmu (pelindung) bagi orang-orang yang berhijrah sesudah
menderita cobaan, kemudian mereka berjihad dan bersabar; sesungguhnya Tuhanmu
sesudah itu benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(QS. An Nahl [16]:
110)
Sayyid Quthb (2009: 374) menjelaskan
ayat di atas bahwa sabar merupakan wasiat Allah kepada setiap rasul. Dan terus
menerus diulang hingga sampai kepada kaum muslimin yang beriman kepada
Rasul-Nya. Hijrah adalah bentuk dari sebuah jihad. Jihad melawaaan hawa nafsu,
penyimpangan, kebodohan, dan kehinaan diri-diri kita. Dalan perjalanannya,
seringkali jiwa para pelakunya melemah, lesu dan tidak bersemangat karena
beratnya beban dan tantangan yang harus dihadapi. Oleh karena itu, membekali
diri dengan kesabaran merupakan keharusan untuk menghadapi tantangan tersebut.
Perjalanan hijrah Rasulullah SAW
bersama para sahabat dan pengikutnya merupakan sebuah pelajaran bahwa keimanan
yang begitu mendalam terhadap apa yang Rasulullah ajarkan membuat umat muslim
saat itu rela meninggalkan harta benda, sanak saudara, dan tempat kelahirannya
demi meraih kemerdekaan dalam berislam. Dalam perjalanan hijrah pun tidak
sedikit tantangan dan ujian yang mesti dihadapi umat Islam. Pemboikotan, teror,
tekanan mental, fitnah hingga penyiksaan secara fisik. Namun ujian dan cobaan
tersebut dilalui oleh Rasulullah SAW beserta sahabat dan para pengikutnya
dengan penuh kesabaran dan keyakinan akan terwujudnya perubahan positif pada
kondisi umat Islam. Hingga pada akhirnya, perjalanan hijrah tersebut kemudian
menjadi titik balik dari munculnya peradaban Islam yang merdeka dan
bermartabat.
Sejarah telah membuktikan bahwa
peristiwa hijrah telah memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kondisi
Islam. Muhammad (2004: 16) menjelaskan bahwa setelah 13 belas tahun kaum
muslimin menghabiskan waktu di Makkah sebagai umat yang tidak memiliki
kekuasaan dan hak suara, dengan hijrah mereka menjadi kaum yang terhormat,
memiliki kekuasaan, pengetahuan, kebudayaan dan peradaban yang menyebar ke
ujung Barat dan Timur. Sebelum hijrah, kondisi masyarakat Arab berada dalam bayang-bayang
kebodohan, fanatisme buta, dan kezhaliman. Namun setelah hijrah, muncullah rasa
keadilan, kasih sayang, kesamaan, dan kemerdekaan.
Perubahan signifikan yang dialami
oleh kaum muslimin pasca hijrah tidak terlepas dari perubahan pola pikir, sikap
dan tingkah laku yang terjadi pada setiap pribadi muslim saat itu. Sebagaimana
yang disampaikan oleh M. Quraish Shihab (2009: 383) bahwa dalam Al Qur’an,
perubahan dapat terwujud bila dipenuhi dua syarat utama, yaitu adanya nilai
atau ide; dan adanya pelaku-pelaku yang menyesuaikan diri dengan nilai-nilai
tersebut. Keberhasilan Rasulullah melakukan transformasi terhadap kaum muslimin
secara khusus dan masyarakat Arab secara umum tidak terlepas dari kemampuan
beliau dalam menanamkan nilai-nilai Islam kepada para sahabatnya. Tidak ada
satu pun pola pikir, sikap dan tingkah laku yang hendak Islam perbaiki, kecuali
semuanya diuraikan dengan argumen-argumen yang rasional, menyentuh hati dan
disertai keteladanan.
C.
Membangun
Model Kepemimpinan Transformasional dalam Perspektif Islam
Dewasa ini, Indonesia memerlukan sosok
pemimpin yang transformatif, yakni sosok pemimpin yang mampu membawa Indonesia
menuju perubahan yang positif dan membalikkan kondisi Indonesia yang sedang
terpuruk. Sebagaimana karakter pemimpin yang Allah SWT jelaskan dalam surah An
Nur ayat 55,
“Dan
Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan
mengerjakan amal-amal saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka
berkuasa di muka Bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum
mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah
diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka,
sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku
dengan tiada menyekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang
(tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.”
(QS. An Nur [24]: 55)
Berdasarkan
kajian terhadap teori kepemimpinan transformasional dan nilai-nilai
transformasional dalam perspektif Islam, maka terdapat beberapa aspek yang
membangun model kepemimpinan transformasional dalam perspektif Islam, yaitu
sebagai berikut.
1.
Kepemimpinan
adalah sebuah amanah
Kepercayaan atau amanah merupakan prinsip utama
dalam kepemimpinan. Dan kepercayaan tersebut hanya bisa diraih ketika seorang
pemimpin menunjukkan karakter dan kompetensi yang layak. Sebagaimana
kepemimpinan Rasulullah yang berdiri kokoh berasal dari pondasi kepercayaan
yang diberikan oleh para pengikutnya. M. Syafii Antonio (2014: 175) menjelaskan
bahwa gelar Al Amin yang disematkan kepada Rasulullah tidak terjadi dalam satu
malam (trust is not built in overnight).
Melainkan melalui sebuah proses kejujuran dan profesionalitas dalam bekerja.
Oleh karena itu, Allah SWT memerintahkan untuk memenuhi setiap amanah
kepemimpinan dengan sebaik mungkin.
“Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan
(menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha
Melihat.” (QS. An Nisa [4]: 58)
Al Maragi (1974:
70) menjelaskan bahwa dari ayat di atas amanah diklasifikasikan menjadi tiga
macam, yaitu: 1) tanggung jawab kepada Tuhan, 2) tanggung jawab kepada sesama
manusia, dan 3) tanggung jawab kepada diri sendiri. Sehingga setiap orang yang
beriman wajib menunaikan amanah yang diberikan kepada mereka, yakni
kepemimpinan, baik itu yang berasal dari Allah SWT maupun dari sesama manusia.
2. Menitikberatkan
perubahan pola pikir, sikap dan tingkah laku individu sebagai komponen terkecil
Kepemimpinan
transformasional dalam mewujudkan perubahan yang efektif berawal dari upaya
perubahan pola pikir, sikap, dan tingkah laku individu sebagai komponen
terkecil dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Karena individu itulah pelaku
yang diinginkan untuk menciptakan perubahan. Sebagaimana firman Allah SWT dalam
surah Ar Ra’du ayat 11,
“…sesungguhnya
Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang
ada pada diri mereka sendiri…” (QS. Ar Ra’du [13]: 11)
M. Quraish Shihab (2009: 384)
menjelaskan bahwa ayat di atas berbicara tentang dua macam perubahan dengan dua
pelaku. Pertama, perubahan masyarakat yang pelakunya adalah Allah SWT. Kedua,
perubahan keadaan diri manusia yang pelakunya adalah manusia. Kata ‘anfus’ pada ayat di atas, terdiri dari
dua unsur pokok, yaitu nilai-nilai yang dihayati dan iradah atau kehendak manusia. Perpaduan keduanya menciptakan
kekuatan pendorong untuk melakukan perubahan. Selain itu, perubahan yang
diharapkan terjadi pada setiap individu tidak hanya perubahan yang sifatnya
fisik. Tetapi perubahan pola pikir, sikap dan tingkah laku yang bermuara pada
kebaikan di bidang ekonomi, sosial, politik, budaya, hukum dan sebagainya.
Sehingga langkah awal yang dilakukan oleh seorang pemimpin transformatif adalah
memperbaiki dirinya sendiri.
3.
Keteladanan
Keberhasilan Rasulullah SAW dalam menanamkan
nilai-nilai Islam ke dalam diri para sahabat tidak terlepas dari keteladanan
beliau sebagai seorang pemimpin. Dengan keteladanan yang mulia, beliau menjadi
sosok inspirator dan motivator terbaik di dunia. David George Hogarth (1922: 5)
berpendapat bahwa: “Tindak-tanduk kesehariannya, yang serius ataupun yang
sepele, menjadi hukum yang ditaati dan ditiru secara sadar oleh jutaan orang
masa kini.” Imron Fauzi (2012: 220) berpendapat bahwa Rasulullah SAW adalah Al
Qur’an yang hidup (the Living Qur’an).
Artinya, pada diri Rasulullah SAW tercermin semua ajaran Al Qur’an dalam bentuk
nyata. Oleh karena itu, para sahabat dimudahkan dalam mengamalkan ajaran Islam,
yakni dengan meniru perilaku Rasulullah SAW. Allah SWT berfirman,
“Sesungguhnya
telah ada pada (diri ) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu)
bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia
banyak menyebut Allah.” (QS. Al Ahzab [33]: 21)
4.
Berdedikasi
Seorang pemimpin transformatif akan mendedikasikan
seluruh hidupnya di jalan kebaikan, kebenaran dan memperhatikan umatnya demi
meraih kebaikan bersama. Nilai-nilai luhur yang seorang pemimpin miliki akan
ditularkan kepada pengikutnya agar setiap individu mengalami perubahan secara
positif. Seorang pemimpin transformative tidak akan pernah berhenti untuk
memotivasi, menginspirasi, dan membimbing umatnya untuk melakukan perubahan
secara individu demi mencapai perubahan sosial yang efektif. Sehingga model
kepemimpinan transformasional tidak hanya mengorbankan waktu, tenaga, pikiran
dan harta. Tetapi juga gaji, status, jabatan, kekuasaan, dan keistimewaan
lainnya demi terwujudnya perubahan yang diinginkan. Karen sesungguhnya pemimpin
sejati adalah pemimpin yang melayani. Sebagaimana Rasulullah SAW selalu
melayani sepenuh hati kepentingan rakyat dan umat yang membutuhkan tanpa
membeda-bedakan latar belakang sosial mereka. M. Syafii Antonio (2014: 288)
menjelaskan bahwa melayani sepenuh hati yang diinspirasikan oleh Rasulullah SAW
menunjukkan kepribadian yang positif, proaktif, bersemangat dalam merespon
siapapun yang memerlukan, serta bersama mengajak untuk terus maju. Rasulullah
SAW bersabda,
“Siapa
yang memimpin, sedangkan ia tidak memperhatikan urusan kaum muslimin, tidaklah
ia termasuk ke dalam golongan mereka.” (HR. Bukhari Muslim)
5.
Berkarya
dan kreatif
Seorang pemimpin transformatif dituntut menghasilkan
banyak karya yang berguna dan bermanfaat bagi anggotanya. Selain itu,
kreatifitas dalam memberdayakan sumber daya manusia (anggota) juga diperlukan
dalam mewujudkan perubahan secara efektif. Dalam Al Qur’an, Allah SWT
memerintahkan untuk melakukan pekerjaan yang berguna, produktif, dan
menghasilkan karya.
“Dan
katakanlah,’Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin
akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang
Mengetahui akan yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-nya kepada kamu apa
yang telah kamu kerjakan.” (QS. At Taubah [9]: 105)
Muchlis (2012: 207-208) menjelaskan
bahwa ayat ini memiliki tiga pokok
pikiran, yaitu: 1) perintah untuk bekerja, berkarya dan beramal, 2) pekerjaan
yang dilakukan apapun itu akan dievaluasi oleh Allah, Rasul dan orang-orang
mukmin, 3) hasil pekerjaan itu akan dinampakkan pada hari kiamat kelak. Dengan
demikian, seorang pemimpin transformative dalam perspektif Islam dituntut untuk
berkarya yang bermanfaat bagi anggotanya dan kreatif dalam memberdayakan
anggotanya dengan berbagai inovasi dalam rangka terwujudnya perubahan secara
efektif.
Demikianlah,
terdapat lima aspek yang membangun model kepemimpinan transformasional dalam
perspektif Islam, yaitu: 1) Kepemimpinan sebagai amanah, 2) Perubahan individu
sebagai komponen terkecil, 3) Keteladanan, 4) Berdedikasi, 5) Berkarya dan
kreatif. Kelima aspek ini tidak hanya akan membawa Indonesia menuju perubahan
yang lebih baik. Tetapi juga mengukuhkan nilai-nilai kepemimpinan Islam yang
bermuara kepada terbentuknya tatanan kehidupan masyarakat Indonesia yang Islami.
Wallahu a’lam
bishshawwab.
0 komentar:
Posting Komentar