Adil ialah menimbang yang sama berat,
menyalahkan yang salah, dan membenarkan
yang benar,
mengembalikan hak yang empunya, dan jangan berlaku
zhalim di atasnya
Korupsi
di Indonesia kini telah mencapai fase kritis dan berpotensi mengancam
kestabilan negara. Hal ini terus bertambah parah seiring terbongkarnya
kasus-kasus korupsi yang tidak hanya menyeret oknum eksekutif dan legislatif,
namun juga para penegak hukum yang justru diharapkan mampu memberantas korupsi.
Hampir-hampir istilah “oknum” pun tidak relevan lagi mengingat tindakannya yang
sistematis dan terencana oleh orang-orang yang berada dalam satu unit kerja. Selain
itu, korupsi pun telah menjangkiti masyarakat hampir di setiap elemen sosial
masyarakat, baik dari pengusaha, akademisi, hakim, pemuda, bahkan ibu rumah
tangga. Perilaku korupsi telah membudaya dan menciderai nilai-nilai kejujuran,
integritas, keadilan, dan sikap tanggungjawab yang selama ini menjadi bagian
dari tatanan moral bangsa. Dampaknya tidak hanya menghambat pembangunan
nasional, tetapi juga merusak karakter masyarakat sebagai dampak paling
berbahaya.
Berbagai
upaya telah dilakukan dalam rangka memberantas korupsi. Mulai dari
penyempurnaan undang-undang tentang pemberantasan korupsi (seperti UU No. 20
Tahun 2001), membentuk lembaga khusus pemberantasan korupsi (KPK), hingga menciptakan
sistem politik pemerintahan yang mampu menekan tindakan korupsi. Namun
kenyataannya hal ini belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Sistem
demokrasi Indonesia yang diakui Internasional sebagai sistem yang telah matang
pun belum mampu berkontribusi terhadap pemberantasan korupsi (Rangkuti, 2016). Hukum
positif tindak pidana korupsi yang ditinjau dan diperbarui seolah masih
meninggalkan celah bagi para pelaku kecurangan untuk bermain. Sanksi terhadap
tersangka kasus korupsi pun belum mampu memberikan efek jera bagi para
tersangka. Bahkan KPK sebagai lembaga istimewa pemberantas korupsi pun
digembosi dengan adanya isu tendensi politik (atau mungkinkah itu benar
adanya?). Hal ini semakin ironi dengan kenyataan bahwa Indonesia merupakan
negara dengan mayoritas muslim sekaligus menjadi negara terkorup se-Asia
Pasifik (PERC dalam Ahmad, 2014). Padahal Islam dengan tegas menyatakan bahwa
korupsi beserta turunan tindakan curang
lainnya (mencuri, khianat terhadap amanah, suap, gratifikasi, dan penggelapan)
merupakan perbuatan yang haram. Lalu apa yang bisa kita lakukan?
Kenyataan
yang ada di atas menunjukkan bahwa permasalahan korupsi tidaklah cukup
ditangani dengan memperbaiki sistem. Karena permasalahan korupsi juga berkaitan
dengan mindset dan cara pandang
masyarakat sebagai bagian dari sistem. Oleh karena itu, perlu upaya untuk
mengembalikan nilai-nilai integritas, kejujuran, amanah, dan keadilan dalam
kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara. Selain itu, generasi muda sejak
dini juga perlu diberikan edukasi tentang bahaya laten korupsi. Sehingga
pendidikan sebagai wadah untuk membentuk karakter bangsa memainkan peranan yang
penting dalam memenuhi hajat tersebut.
Pendidikan
anti korupsi tidak selamanya harus disampaikan kepada peserta didik dalam setting
pembelajaran yang khusus. Namun sikap anti korupsi dapat dikembangkan dengan
menyisipkan nilai-nilai integritas, kejujuran, kepedulian, amanah dan keadilan
dalam dalam setiap mata pelajaran yang ada, tak terkecuali Matematika.
Tidak
dapat dipungkiri bahwa Matematika merupakan bagian yang erat kehidupan
sehari-hari. Matematika tidak hanya tentang menghitung dan mengoperasikan
bilangan belaka, namun juga tentang cara berpikir, pemecahan masalah dan ide
besar yang dibangun dari pengalaman kehidupan sehari-hari (Adams, 2010). Dalam
konteks berpikir tingkat tinggi, Matematika digunakan sebagai alat evaluasi dan
justifikasi terhadap suatu pernyataan (Mullis et al, 2009). Dalam konteks
Matematika sekolah menengah, Matematika merupakan pengetahuan yang disusun
dengan penalaran yang logis, konsisten, koheren, analitik dan ideal yang
kemudian dikenal dengan Matematika Formal (Hamidy, 2016). Sikap-sikap tersebut
merupakan komponen penyusun kemampuan berpikir kritis. Meskipun hakikat
objeknya bersifat abstrak, namun pembelajaran Matematika yang efektif mesti
melibatkan konteks kehidupan sehari-hari peserta agar mereka merasakan
kebermanfaatan dan keterlibatan Matematika dalam realita. Kemampuan berpikir
kritis, evaluatif dan analitik merupakan modal penting dalam menyelamatkan diri
dari perangkap korupsi. Perlu disadari bahwa latar belakang korupsi tidak hanya
karena motif ekonomi ataupun politik. Tak jarang seseorang terpearangkap dalam
praktik korupsi dikarenakan ketidakpahaman terhadap hukum dan ketidakpekaan
terhadap situasi dan kondisi.
Selain
itu, pembelajaran Matematika juga mengandung potensi pengembangan nilai-nilai
karakter bangsa. Di antaranya adalah nilai kejujuran, disiplin, kerja keras,
komunikatif, demokratis, kreatif, dan bertanggung jawab (Lasmanawati, 2015;
Rivillia; 2013). Nilai-nilai karakter tersebut sejalan dengan upaya
pemberantasan korupsi, yakni membentuk masyarakat yang tidak hanya cerdas dari
aspek intelektual, tetapi juga memiliki nilai-nilai anti korupsi.
1.
Kejujuran
Pembelajaran
matematika sangat terikat erat dengan aturan, baik itu berupa aksioma, teorema,
rumus dan lain sebagainya. Sehingga setiap pernyataan atau hasil akhir yang
diperoleh dari suatu proses matematis dapat ditentukan kebenarannya secara
objektif melalui aturan-aturan tersebut. Sedikit saja perubahan dan
penyimpangan data akan dapat dideteksi dengan mudah. Oleh karena, setiap
peserta didik dituntut untuk senantiasa menyelesaikan suatu perhitungan dengan
apa adanya tanpa perlu ditambahkan sesuatu apapun. Hal ini selaras dengan sikap
jujur yang senantiasa apa adanya dalam menyampaikan kebenaran tanpa perlu
dibumbui ataupun dikurangi. Sikap ini akan menjadi karakter yang kuat seiring
dengan konsistensi menjaga sikap ini tidak hanya dalam menyelesaikan permasalahan
matematis, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari.
2.
Disiplin
Masih
berkaitan dengan penjelasan sebelumnya. Bekerja secara matematis berarti
bekerja sesuai dengan aturan dan hukum yang berlaku. Sedikit saja melanggar
ketentuan, maka hasil tidak akan sesuai denga yang diharapkan. Hal ini
melahirkan sikap disiplin dan tidak sewenang-wenang terhadap aturan yang
berlaku. Sikap disiplin penting dalam memberantas korupsi yang identik dengan
aktivitas yang melawan hukum.
3.
Kerja
keras
Tidak
selamanya soal Matematika dapat diselesaikan dengan singkat dan mudah. Beberapa
soal menuntut proses penyelesaian yang panjang dengan melibatkan berbagai
konsep dan rumus yang rumit dan kompleks. Hal ini kerja keras dan ketekunan
siswa dalam menyelesaikannya. Sikap kerja keras, tekun dan pantang menyerah
penting dibentuk dalam diri peserta didik agar tidak tergoda untuk mengambil
jalan-jaln pintas yang melanggar hukum dalam meraih kesuksesan.
4.
Bertanggung
jawab
Ada
kalanya peserta didik diminta untuk memaparkan hasil pekerjaannya di depan
kelas. Ini adalah saran bagi siswa untuk mempertanggungjawabkan tugas yang
diberikan. Ketika terdapat kesalahan, kritikan dan saran, peserta didik
diharapkan mampu berbesar hati menerima, mengakui dan memperbaikinya. Hal ini
akan membuat peserta didik senantiasa mengoreksi jawabannya terlebih dahulu
sebelum dipaparkan di depan. Hal ini merupakan bentuk tanggungjawab seorang
peserta didik terhadap tugas yang diberikan.
Nilai-nilai
anti korupsi tersebut akan semakin mengakar dalam mindset dan perilaku berbangsa dan bernegara jika pembelajaran
Matematika mampu dikontektualisasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
pula. Hal ini dapat dilakukan dengan mengangkat isu korupsi sebagai pengantar,
konten soal, maupun penutup dari proses pembelajaran Matematika. Misalnya
ketika berkaitan dengan statistika.
Seorang
pejabat negara diminta untuk melaporkan kekayaannya tiap bulan kepada KPK.
Berdasarkan hasil laporan diperoleh grafik kekayaan pejabat tersebut dari awal
menjabat (Maret) hingga awal bulan Agustus sebagai berikut. Jelaskan pendapatmu
tentang kekayaan pejabat tersebut. Apakah kekayaan yang dimilikinya normal?
Sumber: Modifikasi
Contoh
lainnya dalam perkalian dan pembagian bilangan.
Budi
diminta ibunya berbelanja rutin setiap pekan. Namun setiap kali berbelanja Budi
selalu mengambil Rp1000 tanpa sepengetahuan ibunya untuk membeli mainan.
a.
Bagaimana menurutmu tentang tindakan Budi?
b.
Apakah nilai uang yang diambil Budi
tersebut kecil atau besar?
c.
Perkirakan jumlah uang yang Budi ambil jika
hal itu dilakukan berulang-ulang kali selama tiga tahun?
d.
Dengan perkiraan jumlah uang tersebut, apa
hal bermanfaaat yang bisa dibayar/dibeli bagi keluarga Budi daripada sekedar
mainan?
Beberapa
contoh di atas tidak hanya memancing pengetahuan peserta didik terkait materi
yang berkaitan. Namun juga membangun kesadaran, kepekaan dan sikap kritis
terhadap praktik korupsi.
Berdasarkan
paparan di atas, maka Matematika sebagai bagian dari pembelajaran di sekolah
memiliki kontribusi dalam membentuk generasi bangsa yang anti korupsi. Gagasan
ini tidak menutup kemungkinan untuk dapat diterapkan pada mata pelajaran
lainnya. Sehingga nilai-nilai anti korupsi pun tersebar dalam setiap bidang
kehidupan tanpa harus secara khusus dan eksplisit membahas tentang anti
korupsi. Diharapkan dengan adanya perbaikan dari sisi mental dan intelektual,
korupsi di Indonesia dapat diberantas sampai ke akar-akarnya.
Wallahu a’lam bishshawwab.
REFERENSI
Adams, D. & Hamm, M. (2010). Demystify math, science, and technology. Plymouth, UK: Rowman &
Littlefield Publishers Inc.
Ahmad, Maghfur.
(2014). Fiqh anti korupsi mazhab negara: Memadu hukum Islam dan hukum nasional.
Jurnal Hukum Islam. Vol 12 (1).
Tersedia pada http://e-journal.stain-pekalongan.ac.id/index.php/jhi Di akses pada 6 Agustus 2016.
Hamidy, A. (2016). Formal. Yogyakarta: Universitas Negeri
Yogyakarta.
Lasmanawati, A.
(2015). Mengembangkan karakter melalui
matematika. http://bangka.tribunnews.com/2015/04/09/mengembangkan-karakter-melalui-matematika Diakses pada 7 Agustus 2016
Mullis, I. V. S.,
Martin, M. O., Ruddock, G. J., O’ Sullivan, C. Y. & Preuschoff, C. (2009). TIMSS 2011 assessments frameworks. Amsterdam:
International Association for The Evaluation of Educational Achievement (IEA).
Rangkuti, Ray. (2016).
Korupsi dan masa depan bangsa.
Disampaikan pada kuliah umum perdana Madrasah Anti Korupsi 30 Juli 2016.
Rivillia, S.R.
(2013). Proses integrasi nilai-nilai karakter dalam pembelajaran matematika di
sekolah MAN 2 Barabai. Ta'lim Muta'allim
Vol. 6 (6). Di akses pada 7 Agustus 2016.
See also: https://www.academia.edu/27597940/MATEMATIKA_ANTI_KORUPSI
See also: https://www.academia.edu/27597940/MATEMATIKA_ANTI_KORUPSI
0 komentar:
Posting Komentar