*Refleksi Perkuliahan
Kedelapan
Rabu, 4 November 2015
Dosen: Prof. Dr.
Marsigit, MA
Berfilsafat
adalah berpikir secara kritis untuk membangun dunia secara utuh dan lengkap. Sehingga
luasnya dunia manusia tidak lain seluas pikiran manusia itu sendiri. Ribuan
tahun yang lalu para filsuf telah mengembangkan berbagai pemikirannya mengenai
alam semesta, yakni meliputi yang ada dan yang mungkin ada. Pemikiran para
filsuf tersebut hingga hari ini pun masih memberikan pengaruhnya yang
signifikan terhadap kehidupan manusia, tidak terkecuali di bidang pendidikan.
Salah satu pemikiran
yang hingga hari ini memberikan pengaruh besar adalah gagasan Auguste Comte tentang
positivisme. Gagasan Comte tentang struktur berpikir manusia secara bertingkat menempatkan
spiritual sebagai posisi paling bawah sebagai representasi cara berpikir
primitif, kemudian di atasnya berupa filsafat, positif (saintifik), ilmu dasar
(meliputi Matematika murni), dan yang paling atas adalah absolutisme. Aliran ini
menjadikan IPTEK sebagai patokan utama kemajuan suatu bangsa, sedangkan agama
dianggap tidak mampu menjawab segala problematika kehidupan. Aliran inilah yang
kemudian melahirkan suatu metode dalam membangun pengetahuan, yakni metode
saintifik (metode ilmiah). Gagasan ini kemudian menjadi kiblat bagi semua
pendidikan di dunia, dengan menjadikan ilmu dasar (IPTEK) sebagai tujuan utama.
Fenomena ini sekaligus memarginalkan ilmu-ilmu sosial humaniora dalam
pendidikan.
Dampaknya dapat
kita rasakan dalam pendidikan Indonesia hari ini. Metode inti dari kurikulum
2013 tidak lain adalah metode ilmiah. Metode ilmiah yang menitikberatkan kepada
objek kongkrit, ideal, dan absolut melahirkan pemikiran-pemikira kapitalis,
hedonis, materialis, pragamatis dan liberalis. Di satu sisi, aliran positivisme
pun telah membentuk struktur kehidupan yang menempatkan spiritualitas sebagai
domain paling primitif, bahkan dibawah tradisional. Di mana puncak dari
struktur kehidupan itu adalah powernow, sebagai representasi negara yang
berkuasa dan memiliki kemampuan mengintervensi bangsa-bangsa lain.
Indonesia
sebagai negara berkembang yang menjunjung nilai-nilai spiritualitas memiliki
struktur berpikir yang berbeda dengan struktur berpikir yang ‘diajarkan’ oleh arus
pemikiran internasional yang cenderung memarginalkan agama. Namun arus
pemikiran tersebut terus menggerus ideologi Indonesia melalui kebijakan
ekonomi, pendidikan, budaya, politik, pertahanan dan keamanan. Kondisi ini
menjadi semakin parah dengan ketidakjelasan arah dan identitas Indonesia
sebagai bangsa. Selain itu, masyarakat Indonesia pun telah lama termakan oleh
arus pemikiran yang hedonis, materialis, pragmatis, kapitalis dan pragmatis
sebagai dampak dari globalisasi.
Ketika memahami
hidup secara makro kosmos, maka kita mendapati bahwa diri ini merupakan entitas
kecil dari berbagai elemen yang menyusun sistem kehidupan. Sebuah sistem yang
telah dirancang sedemikian rupa sehingga senantiasa menggapai keseimbangannya. Ketika
dipersempit dalam lingkup internasional, maka kita mendapati bahwa diri kita
pun bagian kecil dari berbagai arus kebijakan dan pemikiran internasional. Di
mana negara adidaya yang memiliki superioritas dengan leluasa melakukan
intervensi dan hegemoni terhadap negara yang inferior. Kondisi ini ibarat
seekor ikan yang sedang berenang dalam arus yang begitu deras dan terkontaminasi
bahan kimia.
Maka ditengah
ketidakberdayaan manusia dalam menghadapi hegemoni pemikiran tersebut, kita
yang memiliki pemahaman dan wawasan mengenai sejarah dan dampak dari fenomena
powernow mesti mengambil sikap. Hendaknya kita menjadi ikan yang cerdik dalam
berenang mengarungi arus powernow yang begitu deras. Sebaik mungkin kita
menghindari dari segala arus negatif yang ditimbulkan oleh powernow, meskipun
kita tidak dapat menafikan keberadaannya yang begitu mendominasi dunia.
Sebagaimana pepatah jawa yang mengatakan, “ngono yo ngono neng ojo ngono’.
Namun untuk mencegah dan mengobati dampak dari arus powernow tersebut, perlu
dilakukan perbaikan kurikulum pendidikan. Kita perlu sebuah konten pendidikan
yang mampu mengembalikan ideologi dan identitas bangsa Indonesia yang berdaulat
dan berdikari. Selain itu, pemerintah dituntut untuk berani bersikap mandiri,
tidak bergantung kepada asing.
Jogjakarta, 19 November 2015
From (Kampung) Dero to Hero
0 komentar:
Posting Komentar