*Refleksi Perkuliahan Kesepuluh
Rabu, 18 November 2015
Dosen: Prof. Dr.
Marsigit, MA
Mitos adalah
sesuatu yang semestinya bisa dipikirkan oleh manusia, tapi tidak mereka pikirkan.
Mitos telah ada sejak manusia lahir dengan berbagai bentuk dan dimensinya. Seperti
mitos bahwa pelangi adalah jembatan para bidadari yang turun ke Bumi. Padahal
pelangi adalah efek pembiasan cahaya menggunakan lensa alami (air hujan) maupun
lensa buatan (prisma). Ketika manusia berhenti pada pemahaman bahwa pelangi
adalah jembatan bagi para bidadari, maka manusia telah termakan mitos. Namun ketika
manusia memikirkan mitos secara kritis dan mencari kebenarannya, maka mitos pun
berubah menjadi logos. Begitu pula pernyataan-pernyataan filsuf atau para ahli
yang kita terima begitu saja tanpa dipikirkan secara kritis, maka semuanya pun akan
menjadi mitos. Mitos dapat pula berupa jawaban sementara atas sebuah
pertanyaan. Seperti konjektur atau rumus dugaan terhadap suatu pola. Ketika
matematikawan berhenti pada konjektur itu saja, maka sebenarnya pengetahuannya
terancam menjadi mitos. Kebiasaan seperti berpakaian, menulis dengan tangan
kanan, mencuci kaki sebelum tidur, juga termasuk mitos jika kita tidak
merenungkan segala rutinitas tersebut. Sehingga mitos adalah kondisi ketika manusia
merasa telah mengerti dengan jelas lalu berhenti berpikir.
Mitos dan logos itu
bersifat relatif, sesuai ruang dan waktu, yakni berdimensi. Sehingga mitos dapat
dipahami sebagai bentuk ketidakpahaman dimensi yang di bawah terhadap dimensi
yang berada di atasnya. Seperti bawahan tidak memahami mengapa atasannya
memerintahnya begini dan begitu. Oleh karena itu, menghindarkan diri dari mitos
perlu memahami ruang dan waktu. Karena logos di satu ruang dan waktu, bisa
menjadi mitos di ruang dan waktu yang lain. Begitu pula sebaliknya.
Lalu bagaimana
dengan agama? Sebagaimana yang Prof. Marsigit sampaikan bahwa agama bukanlah
mitos, melainkan sebuah keyakinan. Tetapi sewaktu-waktu bisa berubah menjadi
mitos. Yakni ketika manusia beribadah tanpa ilmu. Sebagaimana amal yang
diterima Tuhan adalah amal yang dilandasi oleh niat yang ikhlas dan sesuai
dengan aturan agama. Sehingga beribadah dengan bekal ilmu agama yang mumpuni
pun menjadi syarat yang utama. Namun hal tersebut tidak serta merta memberikan
ruang kepada manusia untuk mempertanyakan (sebagaimana pangkal dari ilmu adalah
bertanya) mengapa harus beribadah dengan cara begini dan begitu. Adapun yang
dapat manusia lakukan adalah menemukan hikmah dari setiap perintah dan larangan
yang Tuhan berlakukan untuk manusia. Di mana hikmah tersebut tentunya
berdimensi, sehingga tidak selamanya manusia mampu menemukan hikmah dari setiap
aturan yang agama telah tetapkan. Hal inilah yang menjadi landasan bahwa metode
hermeneutika tidak dapat diberlakukan kepada agama dan kitab sucinya. Karena
hal itu sama saja manusia berusaha menduga-duga kekuasaan Tuhan yang sejatinya
absolut.
Dunia yang
lengkap adalah mitos, logos, dan spiritual. Dan setiap pikiran manusia memiliki
ambang batasnya masing-masing. Maka agama adalah sebuah keyakinan yang ditopang
oleh ilmu pengetahuan dan terbebas dari segala bentuk mitos. Namun ketika
manusia tidak mampu (dan tidak akan pernah mampu) memikirkan salah satu bagian
dari agama, maka kembalikan bagian tersebut kepada hati yang ikhlas, yakni iman
dan takwa kita kepada Tuhan (spiritual).
Jogjakarta, 23 November 2011
From (Kampung) Dero to Hero
0 komentar:
Posting Komentar