A. Nasionalisme dalam Perspektif Islam
Nasionalisme
berasal dari kata ‘nation’ yang berarti bangsa. Sedangkan dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (Lazuardi, 1996: 20) dijelaskan bahwa bangsa adalah kesatuan
orang yang bersamaan asal keturunan, adat, bahasa, dan sejarahnya, serta
berpemerintahan sendiri. Beberapa definisi nasionalisme dari pakar sosial
politik antara lain sebagai berikut.
- Rupert Emerson (1960: 95) mendefiniskan nasionalisme sebagai komunitas orang-orang yang merasa bahwa mereka bersatu atas dasar elemen-elemen penting yang mendalam dari warisan bersama dan bahwa mereka memiliki takdir bersama menuju masa depan.
- Ernest Renan (Al Chaidar, 2000: 5) berpendapat bahwa nasionalisme merupakan unsur yang dominan dalam kehidupan sosial politik sekelompok manusia dan telah mendorong terbentuknya suatu bangsa (nation).
- Fahri Hamzah (2010, 96) berpendapat bahwa inti dari nasionalisme adalah penekanan pada wisdom atau kearifan sebagai bangsa yang majemuk, yakni tidak menganggap kelompok lain sebagai orang lain.
Berdasarkan
beberapa definisi di atas maka disimpulkan nasionalisme adalah paham kesatuan
dan solidaritas dari berbagai elemen yang mengesampingkan perbedaan dalam
mewujudkan suatu bangsa.
Istilah
nasionalisme pada dasarnya belum dikenal pada masa turunnya Al Qur’an karena
nasionalisme baru muncul pada abad ke-18 Masehi. Meskipun begitu, nilai-nilai
nasionalisme telah banyak disinggung dalam Islam melalui Al Qur’an dan sunnah
Rasulullah SAW. Nasionalisme atau kebangsaan dalam Islam dikenal dengan istilah
sya’bun, sebagaimana yang tertulis dalam surah al Hujurat ayat 13.
Terjemah: Hai manusia, sesungguhnya Kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang
yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Mengenal. (QS. Al Hujurat [49]: 13)
Tafsir Ibnu
Katsir (2009: 495-496) menjelaskan bahwa Allah SWT menciptakan manusia dari
satu jiwa (adam) dan pasangannya (Hawa). Kemudian menjadikan manusia
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar mereka saling mengenal, bukan saling
membanggakan nasab atau kesukuannya. Karena sesungguhnya kemuliaan itu dinilai
dari segi ketakwaan. Ayat tersebut merupakan bukti bahwa kemajemukan dalam
berbangsa dan bernegara adalah sebuah keniscayaan dalam kehidupan manusia dan
sama sekali tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Hal ini dipertegas oleh
Allah SWT dalam surah ar Rum ayat 22,
Terjemah: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya
ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna
kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi orang-orang yang mengetahui. (QS. Ar Ruum [30]: 22)
Quraish Shihab
(1995:4) menjelaskan ayat tersebut bahwa Islam menghargai bahasa dan
keragamannya. Bahkan keragamannya dijadikan sebagai tanda dari kebesaran Allah
SWT. Bahasa sebagai salah satu unsur nasionalisme, merupakan bahan perekat
kesatuan umat. Bahasa sebagai suatu jembatan penyalur pikiran akan mendukung
terwujudnya kesatuan pikiran. Sehingga masyarakat yang memelihara bahasanya
berarti memelihara identitas kebangsaannya. Sikap nasionalisme juga ditunjukkan
oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya,
Terjemah:
Ya Allah jadikanlah kami mencintai madinah
sebagaimana Engkau menjadikan kami mencintai Makkah atau lebih cinta...(HR.
Bukhari)
Dengan demikian,
nasionalisme yang melahirkan kearifan dalam menyikapi kemajemukan, komunikasi
yang harmonis antar golongan, serta kecintaan terhadap tanah air merupakan
bagian dari ajaran Islam. Sehingga setiap muslim tidak hanya memiliki loyalitas
terhadap Allah dan Rasul-Nya, tetapi juga memiliki jiwa nasionalisme dalam
membangun negara. Kriteria tersebut terhimpun dalam sebuah gagasan yang bernama
muslim negarawan.
0 komentar:
Posting Komentar