Aktualisasi Nilai-Nilai Nasionalisme Rasulullah
dalam Konteks Keindonesiaan
Islam
dan nasionalisme merupakan dua kekuatan besar yang berperan dalam perjuangan
kemerdekaan Indonesia. Nasionalisme yang muncul pada abad ke-18 menginspirasi
bangsa Indonesia melakukan gerakan perlawanan terhadap kekuatan kolonial. Para
perjuang kemerdekaan Indonesia seperti Soekarno, Muhammad Hatta, Wahid Hasyim,
dan lain-lain mengambil paham ini sebagai motivasi perjuangan. Di satu sisi,
gerakan Islam pun memiliki peran yang signifikan dalam upaya pembebasan bangsa
Indonesia dari imperialisme Eropa. Peranan ini dilakukan oleh para kyai dan
ulama pada awal tahun 1900-an melalui pencerdasan anak bangsa. Syarifudin Jurdi
(2008:153) menjelaskan bahwa kebangkitan perlawanan terhadap kekuasaan
pemerintah kolonial Belanda diawali oleh Sarekat Dagang Islam pada 16 Oktober
1905.
Namun,
Islam dan nasionalisme pernah menjadi hal yang paling serius diperdebatkan pada
masa penetapan dasar negara menjelang Indonesia merdeka. Sebagaimana yang
digambarkan oleh dr. Ali Masykur Musa (2011: 137), kelompok Islam beranggapan
bahwa sudah selayaknya Islam diberi tempat lebih besar dalam struktur
ketatanegaraan baru, karena Indonesia ditegakkan dan dihuni oleh mayoritas
penduduk yang beragama Islam. Sedangkan kelompok nasionalis beralasan bahwa
negara yang penduduknya tidak seratus persen muslim, hubungan legal-formal
antara Islam dan negara bukan sebuah keharusan. Karena hal itu rentan
melahirkan diskriminasi, khususnya bagi non muslim. Meskipun perdebatan itu
berakhir dengan disepakatinya Pancasila sebagai dasar negara, tetapi ketegangan
tersebut masih menyisakan dikotomi antara Islam dan nasionalisme di masyarakat.
Dikotomi
ini jika dibiarkan terus menerus akan berdampak negatif terhadap keutuhan
bangunan kebangsaan. Apalagi ketika melihat gagasan nasionalisme yang memudar
dalam realitas kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini. Hal ini ditunjukkan
dengan bermunculannya berbagai konflik antar etnis, agama dan golongan yang
mengarah kepada disintegrasi sosial. Kekuatan nasional pun terpecah menjadi
kekuatan-kekuatan kecil yang dilandasi oleh semangat ‘ashabiyah. Oleh karena
itu, umat Islam sebagai mayoritas penduduk Indonesia harus menjadi pemersatu
komponen bangsa untuk menjaga keutuhan Indonesia, bukan sebaiknya. Sehingga
perlu sebuah gagasan yang mampu menghapus dikotomi antara Islam dan
nasionalisme.
Sebuah
gagasan yang penulis anggap mampu menjadi solusi atas dikotomi antara Islam dan
nasionalisme adalah muslim negarawan. Muslim negarawan merupakan gagasan yang
muncul dari upaya menarik benang merah perselisihan antara Islam dan
nasionalisme. Gagasan ini berawal dari sosok Rasulullah SAW yang merupakan
seorang nabi sekaligus pemimpin negara. Beliau merupakan sosok yang paling
sukses menjadi pemimpin negara dan pemuka agama dalam sejarah kepemimpinan
dunia. Kepiawaiannya dalam mengelola negara telah membawa Madinah mampu berdiri
tegak di antara dua kekuatan besar saat itu, yaitu Romawi dan Persia. Sehingga
Rasulullah SAW adalah sosok ideal sebagai seorang muslim negarawan.
Berdasarkan
latar belakang tersebut, penulis mengkaji nilai-nilai nasionalisme Rasulullah
SAW, lalu mengaktualisasikannya dalam konteks keindonesiaan sehingga terbentuk
sosok muslim negara yang merupakan jawaban dari dikotomi antara Islam dan
nasionalisme.
*makalah terbaik pertama pada MMQ tingkat provinsi Kaltim 2015
0 komentar:
Posting Komentar