Setelah meladeni diskusi yang cukup panjang tentang politik Indonesia
dan menutupnya dengan makan malam, tiba-tiba saja aku teringat akan
kekalahanku ketika bermain Uno balok tadi siang. Aturan permainan Uno cek di http://rumahinspirasi.com/permainan-keluarga-uno-stacko/
Uno Stacko. Photo by: Ani Agus Riani |
Tiba giliranku untuk mengambil satu balok di antara tumpukan
tersebut dan memindahkannya ke atas. Ketika itu, tumpukan balok Uno mulai
meninggi sedang bagian bawahnya mulai berongga akibat balok-balok penyusunnya
telah di pindah ke paling atas oleh pemain-pemain sebelumnya. Proses mengambil
berlangsung sukses. Berikutnya, meletakkan balok yang telah diambil tadi pada
tumpukan yang teratas bersama balok-balok lainnya. Hal ini seharusnya menjadi
tantangan yang sederhana, cukup meletakkan sekedarnya saja. Tapi ketika melihat
hasil susunannya yang tak rapi, aku pun berusaha merapikannya dengan menggeser-geser balok pada tumpukan teratas tersebut. Dan tiba-tiba saja
bangunan Uno itu ambruk. Meskipun rongga-rongga yang membuat tumpukan Uno itu rapuh
disebabkan oleh pemain-pemain sebelumnya, hukuman menyusun kembali tumpukan Uno
tersebut hanya diberikan kepadaku karena di saat gilirankulah tumpukan tersebut
roboh. Apa boleh buat, begitulah peraturannya.
Blunder adalah ketika kita meninggikan bangunan, namun di saat yang sama
kita secara tidak sadar atau bahkan sadar membuat bagian bawahnya rapuh.
Padahal bagian bawah bangunan itulah pondasi yang mampu menopang bangunan
tersebut berdiri tegak. Sehingga, meski nampak tinggi menjulang, bangunan itu juga rentan roboh. Ketika terus dibiarkan, bangunan itu mulai
menentukan waktu dan kambing hitam atas momentum keruntuhannya.
Begitu pula bangunan negara ini. Ketinggiannya dinilai dari kemajuan
teknologi, ekonomi, sosial, pertahanan dan keamanan dan sebagainya. Sedangkan
pondasinya adalah nilai-nilai spiritual, kemanusiaan, persatuan, musyawarah dan
keadilan yang terangkum dalam Pancasila. Ketika kemajuan iptek justru mengikis
keimanan, maka saat itulah teknologi menjadi senjata untuk berperang. Ketika
kekuatan politik menafikan permusyawaratan, maka saat itulah
kesewenang-wenangan terjadi. Ketika pertumbuhan ekonomi tidak dibarengi
pemerataan secara berkeadilan, maka saat itulah kesenjangan sosial dan
kriminalitas kian menyebar. Dan begitu seterusnya. Ketika semangat memajukan
negara tidak dibarengi dengan menjaga nilai-nilai Pancasila, maka negara kita
akan menjadi negara yang rapuh. Negara yang rentan roboh justru disebabkan oleh
kemajuan yang diperoleh. Dan ketika hal tersebut terus dibiarkan, ia hanya akan
menunggu waktu untuk mengalami kehancuran. Dan patut disadari, kehancuran
negara tidak semata-mata disebabkan oleh seorang presiden yang memimpin di masa
itu. Karena bisa jadi kehancuran itu adalah kontribusi dari seluruh rakyatnya yang
mengabaikan nilai-nilai dasar negaranya.
Mari belajar dari sejarah Islam, yang kejayaannya di pelopori oleh pembangunan aqidah secara berkesinambungan sejak Adam AS hingga Muhammad SAW. Namun kemudian mengalami kemunduran akibat perang saudara, cinta dunia, serta lunturnya keimanan.
Oleh karena itu, sejak saat ini, mari tentukan posisi kita. Apakah kita
termasuk yang membangun atau justru menghancurkan negeri ini? Jika kita memang
ingin membangun negeri ini, inilah saat yang tepat untuk mewarisi kembali
nilai-nilai Pancasila dan mengaktualisasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Wallahu a'lam,
Yogyakarta, 27 Rajab 1438 H
23 April 2017 M
From (Kampung) Dero To Hero
0 komentar:
Posting Komentar