Mata Kuliah Matematika Model
Dosen Pengampu: Prof. Dr. Marsigit,
MA.
Struktur
adalah sebuah bangunan yang terdiri dari berbagai unsur yang satu sama lain
berkaitan. Struktur juga merupakan sifat-sifat instrinsik dari suatu objek yang
diungkap melalui proses penyelidikan. Suatu objek dari waktu ke waktu memiliki
struktur yang bersifat dinamis. Dengan mengidentifikasi struktur objek tersebut
pada masa-masa tertentu, maka akan dicari hubungan antar struktur sedemikian
sehingga dapat dibangun sebuah pengetahuan yang baru mengenai objek tersebut.
Pada artikel ini penulis berusaha mengidentifikasi struktur dari
ketakberhinggaan dengan berangkat dari paradoks Zeno.
Gagasan tentang
ketakberhinggaan telah diperbincangkan sejak awal filsafat. Salah satu gagasan
tentang ketakberhinggaan dimunculkan oleh Zeno (450 SM) yang dikenal dengan
paradoks Zeno. Paradoks Zeno menjelaskan bahwa terdapat kuantitas yang kecil
tak berhingga sebagai penyusun besaran kontinyu. Hal ini dibuktikan oleh Zeno
melalui sebuah analogi suatu benda yang bergerak. Sebelum mencapai satu titik
tertentu, benda tersebut pertama-tama harus menjalani separuh dari jarak yang
ditentukan. Tapi, sebelum itu, benda itu juga harus telah melampaui setengah
dari separuh jarak itu, dan seterusnya sampai tak berhingga. Sehingga ketika
dua benda bergerak dengan jurusan yang sama, dan yang satu, yang berada pada
satu jarak tertentu di belakang yang lain, bergerak lebih cepat dari benda di
depannya itu, hal itu tidak menjamin benda tersebut akan menyalip benda di
depannya itu. Misal, suatu lomba lari antara seekor kijang dengan seekor
kura-kura. Jika kijang dapat berlari sepuluh kali lebih cepat dari kura-kura
itu, sedangkan kura-kura itu mendapat keuntungan berada 1000 meter di depan
kijang. Ketika kijang telah menempuh 1000 meter, kura-kura itu akan berada 100
meter di depannya; ketika kijang telah menempuh 100 meter itu, kura-kura itu
akan berada 1 meter di depannya; ketika kijang menempuh satu meter itu,
kura-kura akan berada sepersepuluh meter di depannya, dan terus demikian sampai
tak berhingga.
Ilustrasi
Ketakberhinggan dalam Paradoks Zeno
Analogi
tersebut menggambarkan bagaimana bentuk dari struktur formal dari logika
berpikir manusia. Bahwa secara kaidah geometri, jika suatu garis terdiri dari
sejumlah takhingga titik, maka memungkinkan terdapat suatu barisan geometri takhingga
dengan rasio kurang dari satu, dan bergerak secara berurutan yang semakin lama
semakin kecil sekaligus memusat kepada suatu nilai batas. Sehingga -pada
analogi di atas- tidak akan pernah kijang tersebut menyalip kura-kura. Padahal
secara intuitif, kita dengan mudah memikirkan bahwa kijang akan menyalip
kura-kura.
Pembahasan
ketakberhinggan telah menjadi suatu landasan filsafat sejak 610 SM oleh
Anaximander. Pada saat itu telah dikenal istilah apeiron yang bermakna tak berhingga atau tak terbatas. Selanjutnya paradoks
Zeno mengusik para filsuf mengenai gagasan tentang ketakberhinggan. Dan sejak
saat itu, ide ketakberhinggaan menjadi pembahasan yang dinamis di kalangan para
pemikir maupun Matematikawan. Berikut ringkasan dinamika dari ide
ketakerhinggaan dari masa ke masa.
Timeline Dinamika Ide Ketakberhingaan
Aristoteles
sendiri menyatakan ketakberhinggaan sebagai sesuatu yang pasti ada sebagai
keterangan dari obyek abstrak, seperti bilangan. Misalnya, seandainya ada
bilangan yang paling besar disebut dengan maksimal (max), maka bagaimana dengan
bilangan max+1, max+2 dan seterusnya. Dua macam potensi ketakberhinggaan, yakni
penambahan berturutan dalam aritmetika (besar tak berhingga) dan pembagian
berturutan dalam geometri (kecil tak berhingga) ini yang menjadi landasan
formal dari ketakberhinggaan. Dengan demikian, logika formal tersebut menjamin
kelengkapan dari ketakberhinggan tersebut dalam Matematika. Konsep
ketakberhinggaan ini kemudian bermanfaat besar dalam menyelesaikan
masalah-masalah sosial, ekonomi, kimia dan lain sebagainya.
Namun
jika dilihat dari sisi realitas, maka makna matematika formal dari
ketakberhinggaan ini berkontradiksi dengan struktur materialnya. Sebagaimana
yang dijelaskan oleh aliran empirisme dan intuisionisme bahwa Matematika
berkembang karena adanya pengalaman manusia. Sehingga manusia memiliki
keterbatasan pikiran dalam memahami ide tentang ketakberhinggaan. Pikiran
manusia lebih terbiasa mengangani hal-hal yang berhingga, yang dinyatakan dalam
ide-ide yang berhingga, yakni memiliki nilai, awal dan akhir. Dan Matematika
yang dipergunakan dalam keseharian pun lebih berkaitan dengan besaran yang
berhingga. Sehingga ide tentang ketakberhinggaan pun berada di luar pengalaman
manusia. Konsep ketakberhinggan sendiri tidak ada di dunia nyata. Karena suatu
benda harus memiliki bentuk, ia harus berhingga, dan dengan demikian tidak
dapat menjadi tak berhingga.
Dari
penjelasan di atas maka konsep ketakberhinggaan merupakan bagian dari
kelengkapan Matematika itu sendiri sekaligus berimplikasi terjadinya suatu yang
kontradiktif. Sebagaimana yang dijelaskan dalam teori ketidaklengkapan Godel,
bahwa konsekuensi dari kelengkapan Matematika adalah munculnya berbagai
kontradiksi dengan dunia nyata. Sebaliknya, untuk mengajarkan konsep Matematika
yang konsisten, maka Matematika mesti dipandang sebagai suatu konsep yang tidak
lengkap.
0 komentar:
Posting Komentar