Seperti kapal
yang baru, hari ini kita menarik, penuh warna, performa prima dan melaju dengan
kecepatan tinggi. Semakin apik dengan berbagai aksesoris pada anjungan, geladak
maupun buritan. Berbagai rute dan destinasi pun disusuri seakan bahan bakarnya
selalu terisi full setiap hari. Begitu
gagah membelah lautan tenang, memecah kesunyian, menimbulkan ombak, dan
meninggalkan rasa kagum pada siapapun yang beruntung menyaksikannya. Seraya
berujar, “Siapapun yang menjadi awak kapalnya, tentulah mereka sangat
beruntung.” Maka mari kita bersyukur dengan memanfaatkan momen terbaik ini
untuk saling mengistiqomahkan dalam kebaikan.
Namun selayaknya
kapal yang mengarungi lautan, maka badai besar pun kelak menghampiri. Anginnya
yang kencang akan menghembuskan hawa ‘dingin’, bersiap merobohkan tiang-tiang
penyangganya. Hujannya yang lebat akan menggenangi geladak sembari mencari
celah ‘kebocoran’. Petir dan gemuruhnya akan menyambar, membuat ciut nyali para
awak kapal untuk terus berlayar. Ombaknya akan menggulung, bersiap
menghanyutkan siapa saja yang tidak ‘berpegangan erat’ pada kapal. Sehingga setiap
manusia yang menyaksikan siaran langsung sebuah kapal yang sedang menghadapi
badai akan berkata, “Malang nian nasib awak kapalnya. Namun, siapa suruh
menantang lautan?” Maka mari merapatkan barisan, saling menguatkan dan mengingatkan.
Bahwa meloncat keluar dari kapal bukanlah jaminan untuk bisa sampai di tujuan.
Jika kita yang menaiki kapal saja menghadapi ujian yang besar untuk sampai ke
tujuan, maka apatah lagi dengan yang memilih berenang dalam kesendirian.
Yakinlah, ombak yang menggulung akan berganti lautan yang tenang, pusaran badai
akan terhapuskan dengan lukisan pelangi, dan gemuruh petir akan lenyap seiring
kicauan burung camar.
Dan selayaknya
ciptaan manusia, kapal ini bisa saja usang, berkarat, bergerak sangat lambat, lalu
terlupakan seiring dengan munculnya kapal-kapal baru dengan model yang lebih
canggih dan menawan. Sehingga setiap orang yang melihat kapal kita akan
terheran seraya berkomentar, “Kenapa tidak kau tinggalkan saja kapal usang itu?
Sedang di luar sana begitu banyak kapal-kapal yang lebih menarik hati dan
memberikan keuntungan.” Maka mari berhenti sejenak, seraya bertanya kepada hati
tentang apa yang kita inginkan, yang kita harapkan, yang menjadi alasan kenapa
mesti bertahan di kapal ini. Lalu mulailah memperbaiki dan membersihkan, karena
kapal ini tidak akan pernah kembali seperti semula kecuali lewat tangan-tangan
awak kapalnya.
Inilah kapal
kita, dengan segala kebaikan dan kekurangannya. Di mana rute perjalanannya, laju
lambatnya, dan baik tidaknya kondisi kapal merupakan konsekuensi dari setiap keputusan
yang kita ambil. Sehingga tidaklah cukup seorang nahkoda yang mumpuni dalam
memimpin pelayaran ini. Namun juga diperlukan navigator yang handal dalam
menentukan arah tujuan, markonis yang sigap menangkap situasi yang berbahaya,
juru masak yang selalu menyajikan makanan lezat dan bergizi, hingga ABK yang
selalu siap sedia menerima instruksi. Perbekalan telah dipersiapkan, kini layar
telah terkembang, dan kita semakin jauh meninggalkan daratan. Sedangkan ujung
pelabuhan belum nampak di penglihatan. Maka tidak cara yang paling aman dalam
mengarungi lautan waktu selain dengan menetapi keikhlasan, berbagi kebaikan,
dan saling menasehati dalam kebaikan dan kesabaran. Semoga kita bisa selamat
sampai ke tujuan. Aamiin.
Demi masa. Sesungguhnya
manusia pasti berada dalam kerugian. Kecuali (orang-orang) yang beriman dan
beramal shaleh, dan saling menasehati dalam kebaikan dan kesabaran.
(QS. Al `Ashr: 1-3)
Yogyakarta, awal Februari 2016
From (Kampung) Dero to Hero
0 komentar:
Posting Komentar