Sabtu, 26 September 2015

AKUILAH AKU

0

Aku bukanlah orang yang cerewet
Aku akan memberi apa yang kalian minta
Tentu jika aku punya…
Aku akan membantu jika kalian meminta
Tentu sesuai dengan kemampuanku…
Maka akuilah aku…                              

Tak pernah terbersit bagiku tuk meminta imbalan                            
Yah kadang…                              
Namun bukan itu poinnya…                              
Inilah caraku untuk menunjukkan keberadaanku                              
Maka akuilah aku…

Selasa, 22 September 2015

Merajut Hikmah di Detak Detik Idul Adha

0

"Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh" 
(QS. ash-Shaffat: 100)

Begitulah doa yang dipanjatkan Nabi Ibrahim di tengah kegundahannya, karena belum jua dikaruniai seorang anak. Sedang perjalanan dakwah baru saja ditapaki dan usianya tak lagi muda. Nabi Ibrahim perlu seorang partner sekaligus generasi penerus yang akan melanjutkan estafet dakwah ini. Dan Allah pun mengabulkan doanya,

"Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak  yang amat sabar." (QS. ash-Shaffat: 101)

Kelahiran Ismail as yang kelak mengikut jejak ayahnya pun menjadi kebahagiaan yang tak terkira bagi Nabi Ibrahim. Namun seiring kebahagiaan itu, Allah SWT menguji kecintaan Nabi Ibrahim kepada keluarga kecilnya di atas ketundukan terhadap perintah-Nya. Allah SWT memerintahkan Nabi Ibrahim melakukan perjalanan yang jauh, meninggalkan keluarga kecilnya di lembah tandus tanpa tetumbuhan dan perbekalan memadai. Berat memang, apalagi saat itu Ismail as ditinggalkan dalam keadaan masih belia. Namun dengan keikhlasan, Nabi Ibrahim melaksanakan perintah sebagai bentuk kecintaannya yang lebih besar kepada Allah SWT. Singkat cerita, kecintaan Nabi Ibrahim kepada Allah SWT yang melebihi kecintaannya kepada keluarganya pun menjadi jaminan keberlangsungan hidup Ismail as dan Siti Hajar. Keajaiban terjadi, mata air zam-zam muncul dari kaki kecil Ismail as yang kelak menjadi titik tolak munculnya peradaban di kawasan Jazirah Arab.

Filsafat Hidup

0

Pertemuan kedua
Rabu, 15 September 2015 pkl 07.30-09.10
Ruang PPG I Lab MIPA UNY
Dosen: Prof. Dr. Marsigit, MA

Hidup dalam filsafat adalah berusaha untuk memahami diri, objek yang ada dan yang mungkin ada. Sehingga objek dari filsafat itu meliputi semua yang ada dan mungkin ada. Mengenai objek filsafat, kaum idealis menganggap bahwa yang ada adalah semua yang berada dalam pikiran kita. Sehingga yang berada di luar pikiran kita juga termasuk yang mungkin ada. Sedangkan, kaum realis menganggap bahwa yang ada hanyalah semua yang dapat diindera. Implikasinya dalam konteks pembelajaran Matematika, anak kecil merupakan pembelajar yang realis, sehingga metode pembelajaran yang tepat bagi mereka adalah pembelajaran Matematika yang realistik. Berbeda dengan pembelajaran Matematika bagi orang dewasa yang mampu berpikir secara idealis. Maka metode pembelajaran yang paling hakiki adalah metode hidup, yakni dengan saling menerjemahkan dan diterjemahkan.

Dalam menjelaskan objek filsafat (yang ada dan yang mungkin ada), kita menyadari bahwa kita tidak akan mampu menjelaskan sesuatu semuanya, bahkan menjelaskan diri kita sendiri. Ketidaksempurnaan inilah yang merupakan bukti kehidupan menurut filsafat. Yakni hidup adalah ketidaksempurnaan dalam kesempurnaan. Sehingga sebaik-baik hidup adalah berusaha mengadakan sesuatu yang belum ada menjadi ada di dalam pikiran. Usaha mengadakan yang ada tersebut dilakukan antara lain dengan mengenal satu dari sekian banyak sifat yang mungkin ada melalui mengindera atau informasi dari seseorang. Karena menjelaskan hidup berkali-kali pun tidak akan cukup, yang kita lakukan hanyalah menjelaskan sifat-sifatnya.

Berfilsafat adalah bisa merasa, bahwa masih banyak yang tidak kita ketahui dari pada yang diketahui, bukan merasa bisa. Karena dalam kehidupan berlaku kontradiksi, maka manusia tidak sama dengan namanya sebagai akibat dari kondisi manusia yang selalu dinamis. Ia akan berbeda sesuai dengan ruang dan waktunya. Sedang, kekurangan manusia adalah memberikan nama untuk semua keadaan ruang dan waktu.  Sehingga, sejatinya dalam berfilsafat tidak ada yang benar atau salah, yang ada adalaha sesuai atau tidak sesuai dalam ruang dan waktu. Oleh karena itu manusia harus menyesuaikan ruang dan waktunya. Agar dapat menembus ruang dan waktu, berfilsafat mesti menggunakan bahasa analog. Agar yang kita pikirkan dapat selalu diterima dalam berbagai ruang dan waktu.

Begitu banyak yang telah dibagi dan dijelaskan. Namun karena keterbatasan pikiran, maka tak semuanya dapat dituangkan dalam kata-kata. Namun bukankah begitu sejatinya filsafat? Ia adalah apa yang ada dalam pikiran kita, sejauh mana kita menggalinya.

Jogjakarta, 22 September 2015
From (Kampung) Dero to Hero

Senin, 14 September 2015

BACALAH, DENGAN NAMA TUHANMU YANG MENCIPTAKAN

1

Sebuah Refleksi Kuliah Perdana Filsafat Ilmu
Rabu, 9 September 2015 pkl 07.30-09.10
Ruang PPG I
Dosen: Prof. Dr. Marsigit, MA

          Sebelum Islam hadir di Jazirah Arab, bangsa padang pasir itu berada dalam kondisi jahiliyah. Gelap, begitu pekat akan kebodohan, jauh dari kebenaran, dan tak memiliki peradaban tapi menyimpan begitu banyak potensi. Begitu kontras dengan kerajaan Romawi dan Persia yang begitu gemerlap. Namun semua itu berubah 180 derajat ketika risalah terakhir diturunkan. Muhammad SAW ditunjuk sebagai penutup para nabi, membawa sebuah risalah yang final bagi seluruh umat manusia, yakni Islam. Sejak saat itu, bangsa Arab perlahan bangkit dari kegelapan jahiliyah menuju cahaya peradaban yang terang benderang.
           Ada begitu banyak hikmah di setiap detak detik awal kehadiran Islam. Salah satu di antaranya adalah ayat yang pertama kali turun kepada Muhammad SAW, “Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan” (QS. Al Alaq: 1). Betapa indah ungkapan ini bagi para insan pendidikan. Bahwa ajaran Islam yang pertama bukanlah menganjurkan umatnya untuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya, tidak pula untuk beribadah sekencang-kencangnya, apalagi bekerja sekeras-kerasnya. Namun, Islam menganjurkan umatnya untuk menjadikan aktivitas membaca sebagai bagian dari kehidupannya. Membaca sebagai sebuah aktivitas, tidaklah hanya sekedar membaca lembaran kertas yang bergores tinta. Namun membaca yang diinginkan-Nya adalah membaca dalam spektrum yang lebih luas. Membaca yang di dalamnya ada aktivitas mengkaji, menelaah, meneliti, menerjemahkan, menganalisa dan memikirkan ciptaan-Nya, kondisi sosial, fenomena alam, tanda-tanda, suasana dan lain sebagainya. Sehingga dengan membaca setiap manusia mengenal Tuhannya, lalu mereka beramal dilandasi oleh kepahaman yang utuh.
          Seperti itulah ketika kita berfilsafat. Ia merupakan proses dalam mendapatkan kebenaran hakiki yang diperoleh dari aktivitas membaca dalam spektrum yang luas serta berkelanjutan. Tanpa dikte, tanpa referensi yang baku tentang apa yang mesti mereka baca. Kecuali satu, bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Karena tak jarang berfilsafat justru membuat kita jauh menyimpang dari kebenaran, bahkan terjerumus dalam lembah kesesatan karena terlupa memasang jangkar keimanan. Maka topanglah diri kita dengan jangkar keimanan yang kokoh agar tidak hanyut dalam samudera pemikiran dan ide. Berfilasafatlah dalam koridor keimanan, agar ketika kita mulai menyimpang dan kehilangan arah, kita tahu ke mana harus kembali mengatur langkah.
        Berfilsafat adalah menerjemahkan berbagai analogi kehidupan. Sebagaimana kisah umat-umat terdahulu adalah sebaik-baik pelajaran bagi masa kini dan akan datang. Maka setiap lintasan-lintasan peristiwa selalu terkandung banyak hikmah yang sayang untuk dilewatkan. Sehingga dengan berfilsafat, semoga kita menjadi lebih bijak dalam mengarungi kehidupan. Berfilsafat adalah membaca dengan niat mengharapkan ridha-Nya berupa kebenaran yang hakiki. Karena sejatinya kebenaran adalah dari Tuhan. Sedangkan, manusia bukanlah apa-apa melainkan berasal dari segumpal darah. Maka berfilsafatnya seorang hamba membuat dirinya semakin dekat dengan-Nya dan kagum dengan kemuliaan-Nya. Berfilsafat adalah membaca menggunakan sarana-sarana  yang telah disediakan-Nya. Ialah qalam yang berupa akal, perasaan, intuisi, dan nurani yang condong akan kebenaran. Sehingga dengan berfilsafat, seseorang yang tidak tahu menjadi tahu, sebelumnya gelap menjadi terang, bodoh menjadi tercerahkan, terkebelakang menjadi memiliki peradaban.
         Mari berfilsafat, mari mencari kebenaran seoptimal yang kita bisa. Mari membaca dengan nama Tuhan yang menciptakan kita. Wallahu a’lam bishshawwab.

Jogjakarta, 10 September 2015
From (Kampung) Dero to Hero

Hijab: Riwayatmu Dulu, Kini dan Nanti

0

Berbicara tentang dinamika dakwah kampus, tidak terlepas dari pembahasan tentang tingkat kesadaran mahasiswa dalam berhijab. Karena tidak dapat dipungkiri, sejak era reformasi digulirkan, dakwah Islam mulai masif memasuki kampus dan memberikan pencerahan kepada para cendekiawan muslimah, diantaranya tentang kesadaran berhijab. Sehingga, sejauh mana kesadaran berhijab itu terimplementasikan dalam kehidupan kampus merupakan cerminan dari wajah dakwah kampus hari ini.

Dulu, di tahun 90-an masih jarang ditemukan seorang muslimah yang berhijab. Pun ada, maka dapat dipastikan ia adalah seorang aktivis dakwah. Selain faktor pemahaman yang minim, aturan pada beberapa perguruan tinggi yang menghalangi seorang muslimah berhijab untuk mengecap pendidikan juga menjadi penyebab minimnya muslimah berhijab. Dan hari ini kita dapat menyaksikan bahwa kesadaran berhijab mengalami peningkatan yang cukup dramatis. Hijab tidak lagi menjadi klaim bagi para aktivis dakwah saja, tetapi juga muslimah secara umum. Bahkan berhijab kini tidak hanya menjadi sebuah identitas dan bentuk ketaatan seorang muslimah terhadap syari’at Islam. Tetapi juga menjadi sebuah life style yang dipertimbangkan estetika dan benefit-nya. Meskipun dalam beberapa hal masih dapat ditemukan yang belum bersesuaian dengan syari’at Islam.

Abah dan Pelatihan Sepeda

0

Mendidik itu ibarat melatih anak mengendarai sepeda. Sebagaimana yang dulu Abah lakukan kepadaku ketika masih kanak-kanak. Bermodalkan sepeda perempuan (yang memiliki keranjang di depannya), Abah melatihku bersepeda di sebuah tanah lapang. Ku kayuh sepeda perlahan, sedangkan Abah mendorong dan menjaga keseimbangan sepedaku. Awalnya sepedaku berjalan dengan goyah, namun lama-kelamaan menjadi stabil seiring kecepatan yang terus bertambah. Sekilas ku lihat ke belakang, sosok Abah mengecil akibat telah jauh tertinggal dari ku. Sepedaku terus melaju, sedang cekungan menyisakan beberapa meter di hadapan. Nasib, Abah lupa mengajariku menggunakan rem. Alhasil, aku pun jatuh di rerumputan berduri, meninggalkan bekas lecet di sekujur lengan dan betis. Tapi tak mengapa, sejak itu aku pun mulai mahir memacu sepeda. Hampir setiap sore ku habiskan waktu dengan bersepeda berkeliling kampung dan memasuki hutan-hutan. Bersepeda telah membawaku ke berbagai tempat dengan berbagai pengalaman. Itulah yang kurasakan ketika bersepeda.

Growing and Sharing

0

                   Suatu pagi hari seorang bapak berangkat ke kantor menaiki angkot. Sepanjang perjalanan ia bersenandung bahagia sambil mengulas senyum. Supir yang sedari memperhatikan pun tidak tahan untuk tidak mengajaknya berbincang hangat, apalagi sang bapak satu-satunya penumpang pagi itu. Singkat cerita, bapak tersebut sampai di tempat tujuan. Setelah turun dari angkot, ia berikan selembar 50ribu sambil berkata, “kembaliannya untuk anda sebagai ucapan terimakasih karena telah mengajak saya berbicara selama perjalanan” tanpa lupa mengulas senyum hangat. Sang supir pun sumringah bukan kepalang. Segera ia pacu angkotnya menyusuri jalan mencari warung makan terdekat. Ternyata sang supir sedari pagi belum sarapan  . Segera saja ketika sampai di warung ia memesan makanan. Sang supir makan dengan lahap sampai pelayan warung pun tersenyum keheranan. Singkat cerita, sang supir telah mengisi tangki perutnya. Segera ia beranjak dan membayar dengan uang 50ribu dari sang bapak sambil berkata “kembaliannya 35ribu saja, lebihannya untuk jajan sekolah anak ibu, makanan tadi enak sekali, hehe”. Lantas sang pelayan warung pun senang. Di saat yang sama anak sang pelayan warung datang untuk pamit berangkat ke sekolah. Sang pelayan warung pun memberikan uang jajan lebih ke anaknya sebagaimana pesan sang supir tadi. Sang anak pun merasa senang. Sepanjang jalan ia berdendang dengan riang. Selama belajar di kelas pun tampak bersemangat. Ketika waktu istirahat tiba, sang anak bergegas pergi ke kantin membeli roti kesukaannya. Tak lupa ia ajak temannya yang ternyata lupa membawa uang jajan. Roti kesukaannya pun dinikmati secara bersama-sama. Singkat cerita, sepulang sekolah anak yang ditraktir pun bercerita kepada bapaknya tentang kebaikan temannya di sekolah. Sehingga bapaknya pun merasa bersyukur meskipun terlupa memberikan uang jajan kepada anaknya. Dan begitu seterusnya.

http://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html http://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html