Mendidik itu ibarat melatih anak mengendarai sepeda. Sebagaimana yang dulu Abah lakukan kepadaku ketika masih kanak-kanak.
Bermodalkan sepeda perempuan (yang memiliki keranjang di depannya), Abah
melatihku bersepeda di sebuah tanah lapang. Ku kayuh sepeda perlahan, sedangkan
Abah mendorong dan menjaga keseimbangan sepedaku. Awalnya sepedaku berjalan
dengan goyah, namun lama-kelamaan menjadi stabil seiring kecepatan yang terus
bertambah. Sekilas ku lihat ke belakang, sosok Abah mengecil akibat telah jauh
tertinggal dari ku. Sepedaku terus melaju, sedang cekungan menyisakan beberapa
meter di hadapan. Nasib, Abah lupa mengajariku menggunakan rem. Alhasil, aku
pun jatuh di rerumputan berduri, meninggalkan bekas lecet di sekujur lengan dan
betis. Tapi tak mengapa, sejak itu aku pun mulai mahir memacu sepeda. Hampir
setiap sore ku habiskan waktu dengan bersepeda berkeliling kampung dan memasuki
hutan-hutan. Bersepeda telah membawaku ke berbagai tempat dengan berbagai
pengalaman. Itulah yang kurasakan ketika bersepeda.
Ya, adakalanya mendidik itu seperti melatih seorang anak mengendarai sepeda. Ada masa-masa dimana seorang pendidik perlu berada di 'belakang' siswanya untuk mendorong sembari menjaga mereka dalam mengeksplorasi rasa ingin tahu. Tanpa perlu didikte dan dikekang. Namun jangan pernah lupa untuk mengajarkan mereka 'rem' tanggungjawab, agar mereka selalu belajar dan mengkaji dalam bingkai norma dan etika. Agar kegagalan siswa dalam mencapai tujuan belajarnya adalah hal yang perlu disikapi dengan bijak bagi pendidik maupun siswa. Bahwa ada konsekuensi dari setiap tindakan. Bahwa selalu ada pengorbanan dalam setiap cita-cita mulia. Maka memberikan kebebasan yang penuh tanggungjawab akan membuat mereka melesat dalam ruang ilmu pengetahuan bahkan melampaui kita tanpa disadari.
Indah bukan? Meski dalam praktik lapangan tentu ini menjadi sebuah tantangan. Tuntutan kompetensi yang kian tinggi dan kompleks, membuat setiap pendidik harus mampu menjadi pelatih sepeda yang ulung bagi siswanya. Tidak hanya itu, kelapangan hati yang luas sangat diperlukan agar kita sadar bahwa setiap anak tumbuh berkembang dengan sepeda (bakat dan minat) mereka masing-masing. Maka jangan perlu bersedih dan marah ketika siswa tak seperti yang diharapkan. Karena pendidik adalah pembimbing dan penunjuk jalan, bukan hakim pengadilan. Wallahua'lam bishshawwab.
Ya, adakalanya mendidik itu seperti melatih seorang anak mengendarai sepeda. Ada masa-masa dimana seorang pendidik perlu berada di 'belakang' siswanya untuk mendorong sembari menjaga mereka dalam mengeksplorasi rasa ingin tahu. Tanpa perlu didikte dan dikekang. Namun jangan pernah lupa untuk mengajarkan mereka 'rem' tanggungjawab, agar mereka selalu belajar dan mengkaji dalam bingkai norma dan etika. Agar kegagalan siswa dalam mencapai tujuan belajarnya adalah hal yang perlu disikapi dengan bijak bagi pendidik maupun siswa. Bahwa ada konsekuensi dari setiap tindakan. Bahwa selalu ada pengorbanan dalam setiap cita-cita mulia. Maka memberikan kebebasan yang penuh tanggungjawab akan membuat mereka melesat dalam ruang ilmu pengetahuan bahkan melampaui kita tanpa disadari.
Indah bukan? Meski dalam praktik lapangan tentu ini menjadi sebuah tantangan. Tuntutan kompetensi yang kian tinggi dan kompleks, membuat setiap pendidik harus mampu menjadi pelatih sepeda yang ulung bagi siswanya. Tidak hanya itu, kelapangan hati yang luas sangat diperlukan agar kita sadar bahwa setiap anak tumbuh berkembang dengan sepeda (bakat dan minat) mereka masing-masing. Maka jangan perlu bersedih dan marah ketika siswa tak seperti yang diharapkan. Karena pendidik adalah pembimbing dan penunjuk jalan, bukan hakim pengadilan. Wallahua'lam bishshawwab.
Jogjakarta, penghujung Agustus 2015
0 komentar:
Posting Komentar