Pertemuan kedua
Ruang PPG I Lab MIPA UNY
Dosen: Prof. Dr. Marsigit, MA
Dosen: Prof. Dr. Marsigit, MA
Hidup dalam filsafat adalah berusaha untuk memahami diri, objek yang ada dan
yang mungkin ada. Sehingga objek dari filsafat itu meliputi semua yang ada dan
mungkin ada. Mengenai objek filsafat, kaum idealis menganggap bahwa yang ada
adalah semua yang berada dalam pikiran kita. Sehingga yang berada di luar
pikiran kita juga termasuk yang mungkin ada. Sedangkan, kaum realis menganggap bahwa
yang ada hanyalah semua yang dapat diindera. Implikasinya dalam konteks pembelajaran
Matematika, anak kecil merupakan pembelajar yang realis, sehingga metode
pembelajaran yang tepat bagi mereka adalah pembelajaran Matematika yang
realistik. Berbeda dengan pembelajaran Matematika bagi orang dewasa yang mampu
berpikir secara idealis. Maka metode pembelajaran yang paling hakiki adalah metode hidup, yakni dengan saling menerjemahkan dan diterjemahkan.
Dalam
menjelaskan objek filsafat (yang ada dan yang mungkin ada), kita menyadari bahwa kita tidak akan
mampu menjelaskan sesuatu semuanya, bahkan menjelaskan diri kita sendiri.
Ketidaksempurnaan inilah yang merupakan bukti kehidupan menurut filsafat. Yakni
hidup adalah ketidaksempurnaan dalam kesempurnaan. Sehingga sebaik-baik hidup
adalah berusaha mengadakan sesuatu yang belum ada menjadi ada di dalam pikiran. Usaha mengadakan yang ada tersebut dilakukan antara lain dengan mengenal satu dari sekian banyak
sifat yang mungkin ada melalui mengindera atau informasi dari seseorang. Karena menjelaskan hidup
berkali-kali pun tidak akan cukup, yang kita lakukan hanyalah menjelaskan
sifat-sifatnya.
Berfilsafat adalah bisa merasa, bahwa masih banyak yang tidak kita ketahui dari pada yang diketahui, bukan merasa bisa. Karena dalam kehidupan berlaku kontradiksi, maka manusia tidak sama dengan namanya sebagai akibat dari kondisi manusia yang selalu dinamis. Ia akan berbeda sesuai dengan ruang dan waktunya. Sedang, kekurangan manusia adalah memberikan nama untuk semua keadaan ruang dan waktu. Sehingga, sejatinya dalam berfilsafat tidak ada yang benar atau salah, yang ada adalaha sesuai atau tidak sesuai dalam ruang dan waktu. Oleh karena itu manusia harus menyesuaikan ruang dan waktunya. Agar dapat menembus ruang dan waktu, berfilsafat mesti menggunakan bahasa analog. Agar yang kita pikirkan dapat selalu diterima dalam berbagai ruang dan waktu.
Begitu banyak yang telah dibagi dan dijelaskan. Namun karena keterbatasan pikiran, maka tak semuanya dapat dituangkan dalam kata-kata. Namun bukankah begitu sejatinya filsafat? Ia adalah apa yang ada dalam pikiran kita, sejauh mana kita menggalinya.
Jogjakarta, 22 September 2015
From (Kampung) Dero to Hero
From (Kampung) Dero to Hero
0 komentar:
Posting Komentar