(Sebuah refleksi dari perkuliahan Filsafat Ilmu)
Salah satu rahasia kebangkitan dan
kemajuan peradaban suatu negara terletak pada kuantitas dan kualitas generasi
mudanya. Sebuah fakta sejarah telah membuktikan bahwa negara-negara –seperti
Jepang dan Singapura- yang puluhan tahun sebelumnya tidak masuk hitungan dalam
persaingan global, kini muncul menjadi pesaing bagi negara adi daya. Padahal
sumber daya alam negara tersebut cukup minim. Di satu sisi, negara dengan SDM
dan SDA yang melimpah seperti Indonesia ternyata belum mampu menjadi negara
yang maju, namun justru masih berkutat di permasalahan pengelolaan SDM. Perbedaan
kondisi dari kedua negara ini tidak lain dipengaruhi oleh faktor generasi muda,
khususnya pada aspek kualitas. Karena generasi muda suatu negara yang mumpuni
dari segi kualitas dan kuantitas merupakan aset yang berharga bagi keberlangsungan
dan eksistensi negara tersebut. Mereka yang akan menjadi penerus dan pengembang
dari pencapaian negara tersebut. Ketika baik generasi muda suatu negara, maka
baik pulalah masa depan negara tersebut. Hal inilah yang melandasi dari
pentingnya membekali generasi muda denga nilai-nilai peradaban bangsa dan ilmu
pengetahuan melalui pendidikan.
Pendidikan tidak hanya tentang
transfer ilmu pengetahuan, mengubah ketidaktahuan menjadi berpengetahuan. Namun
pendidikan juga meliputi aspek karakter dan keterampilan. Karena sejatinya
pendidikan adalah upaya membentuk peserta didik menjadi manusia paripurna,
yakni manusia yang bertawa, mandiri dan cendekia. Oleh karena itu pendidikan
yang ideal tidaklah cukup hanya dengan aktivitas ceramah, tugas-tugas dan ujian
rutin. Tetapi perlu diperlukan sebuah formulasi pendidikan yang mampu membentuk
karakter manusia yang siap bersaing dalam kontestasi internasional, di samping
memiliki profesionalitas dalam bidang yang digelutinya kelak.
Tuntutan untuk mencari konsep
pendidikan ideal bagi Indonesia menjadi semakin penting jika melihat bagaimana
kondisi pendidikan Indonesia dan generasi mudanya saat ini. Arus globalisasi
yang begitu pesat telah membawa ideologi-ideologi asing yang bertentangan
dengan nilai-nilai peradaban bangsa Indonesia dan mempengaruhi berbagai aspek
kehidupan, tidak terkecuali aspek pendidikan. Sehingga sistem pendidikan yang
diterapkan di Indonesia pun tidak sepenuhnya sesuai dengan karakter dan budaya
Indonesia. Hal ini membuat pendidikan Indonesia tidak memiliki karakter yang
kuat dan justru terombang-ambing mengikuti arus perubahan. Dampaknya adalah
tidak terbentuknya karakter masyarakat yang sesuai dengan nilai-nilai luhur
Indonesia. Yang terjadi justru semakin mengakarnya nilai-nilai liberalisme,
hedonisme, materialisme, utilitarianisme, dan pragmatisme di kalangan
masyarakat sebagai akibat dari arus globalisasi. Namun di satu sisi, tuntutan
untuk membangun jaringan internasional merupakan sesuatu tidak dapat dinafikan
pada era globalisasi. Sehingga konsekuensi dari berjejaring internasional
adalah masuknya ide-ide dan nilai-nilai asing ke dalam negara Indonesia, baik
yang positif maupun negatif. Sehingga, cara yang terbaik dapat dilakukan adalah
membangun sistem imun terhadap ide dan nilai-nilai asing yang bertentangan
terhadap karakter bangsa Indonesia melalui pendidikan.
Indonesia dengan ideologi
Pancasilanya dan keanekaragaman suku bangsa yang ada di dalamnya merupakan
potensi yang besar yang perlu digali nilai-nilainya. Potensi tersebut merupakan
modal yang besar sebagai suatu landasan bagi pendidikan Indonesia dalam
membentuk generasi bangsa yang berkarakter, profesional, dan siap menghadapi
arus globalisasi. Dengan menggali nilai-nilai Pancasila, kebudayaan yang ada di
Indonesia, dan hakikat pendidikan yang utuh, diharapkan terbentuk suatu konsep
pendidikan Indonesia yang ideal. Berikut adalah poin-poin dari konsep
pendidikan yang ideal bagi Indonesia yang merupakan hasil refleksi selama
perkuliahan Filsafat Ilmu.
1. Pendidikan yang
demokratis
Pendidikan yang demokratis
adalah pendidikan yang memberikan kebebasan yang bertanggungjawab kepada
peserta didik dalam belajar. Sehingga siswa dengan leluasa menggali pengetahuan
melalui semua fasilitas yang telah disediakan oleh sekolah tanpa mesti
dibatasi. Pendidikan yang demokratis juga berarti bahwa setiap masyarakat
Indonesia memiliki hak yang sama dalam mengikuti pendidikan di setiap
jenjangnya, tanpa mesti terkendala oleh biaya maupun nilai yang tidak
mencukupi. Sehingga sekolah idealnya siap menampung semua siswa dengan latar
belakang ekonomi, sosial, budaya, maupun kemampuan yang beragam tanpa harus
dibatasi.
2. Pendidikan yang
mengakomodir perbedaan
Kondisi masyarakat Indonesia
yang heterogen dari aspek suku, ras, agama, dan bahasa menuntut suatu konsep pendidikan
yang mampu mengakomodir setiap perbedaan tersebut. Sehingga kebijakan-kebijakan
pendidikan yang akan diimplementasikan idealnya memiliki fleksibilitas yang
menyesuaikan dengan kondisi masing-masing daerah. Dapat diartikan pula bahwa
pendidikan di Indonesia tidak dapat sepenuhnya bersifat sentralistik, namun
perlu ada pembagian otoritas kepada pelaksana pendidikan di tingkat daerah yang
memahami kondisi daerahnya. Pendidikan yang mengakomodir perbedaan juga
bermakna pendidikan yang bersifat plural dan relatif. Bahwa perbedaan prestasi
yang diperoleh tiap peserta didik merupakan hal yang wajar serta tidak dengan
semena-mena menghakimi peserta didik yang nilainya rendah. Bahwa keseragaman
adalah bentuk sikap otoriter yang tidak sesuai dengan hakikat pendidikan yang memerdekakan.
Pendidikan yang otoriter ditandai dengan sikap pendidik yang determinis
terhadap peserta didiknya, seperti dengan mudah menjatuhkan sifat-sifat yang
negatif terhadap mereka sehingga hal tersebut berdampak besar bagi perkembangan
belajar ke depannya. Oleh karena itu, seorang pendidik tidak patut menjadi
sosok yang determinis dan reduksionis.
3. Pendidikan yang
seimbang antara aspek saintifik dan humaniora
Pendidikan yang ideal adalah
pendidikan yang memajukan aspek saintifik, sekaligus aspek humaniora. Karena
pengetahuan tidak hanya saintifik saja, melainkan terdapat pula aspek humaniora
yang penting dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga tidaklah cukup hanya
mengunggulkan aspek saintifik seperti MTK, Fisika, Biologi, Teknik dan
sebagainya, namun memarginalkan pengetahuan yang bersifat humaniora seperti
sosiologi, antropologi, linguisik dan sebagainya. Karena saintifik barulah
mewakili dari fenomena berpikir yang meruncing. Sedangkan dunia yang lengkap
adalah sebagian meruncing, mendatar sekaligus mengembang. Fenomena yang terjadi
pada pendidikan Indonesia saat ini adalah sistem kurikulum yang terlalu berat
sebelah, yakni aspek saintifik. Sedangkan aspek humaniora kurang diperhatikan.
Padahal permasalahan-permasalahan yang terjadi di Indonesia justru memerlukan
penyelesaian dari aspek humaniora.
4. Pendidikan yang
memberikan penghargaan yang tinggi atas kejujuran dan menolak tindakan plagiat
Pendidikan merupakan upaya
membentuk peserta didik menjadi manusia seutuhnya, begitu pula eksistensinya.
Sedangkan eksistensi manusia itu meliputi tiga syarat: ada, mengada dan
pengada. Mengada merupakan upaya manusia untuk mengadakan yang mungkin ada
menjadi ada. Sedangkan pengada adalah produk atau hasil dari proses mengada
tersebut. Dengan mengada dan pengada, maka manusia pun menjadi ada. Sehingga
peserta didik yang ada adalah peserta didik yang senantiasa mengada, yakni
dengan aktivitas belajar, mengerjakan tugas secara jujur dan bertanggungjawab,
hadir dalam kegiatan belajar mengajar dan sebagainya. Sehingga peserta didik
menghasilkan pengada berupa prestasi belajar, portofolio, karya tulis dan
sebagainya. Namun ketika peserta didik melakukan tindakan menyontek ketika mengerjakan
tugas dan melakukan plagiasi dalam membuat karya tulis, hal ini mengancam
eksistensi dari peserta didik. Sehingga secara hakiki, peserta didik yang
melakukan plagiat tidak diakui lagi keberadaannya. Oleh karena itu, pendidikan
yang ideal harus mampu membentuk sikap jujur siswa dan mengantisipasi tindakan
plagiat.
5. Pendidikan
sebagai hasil sekaligus proses
Pendidikan
merupakan sebuah proses yang meliputi aspek kognitif, afektif dan psikomotorik.
Sehingga untuk menilai ketiga aspek tersebut, tidak cukup hanya berdasarkan
hasil. Melainkan juga mengapresiasi dari setiap proses yang ditempuh peserta
didik dalam proses belajar. Sebagaimana eksistensi sesuatu itu harus meliputi
syarat ada, mengada dan pengada. Mengada merupakan sebuah proses mengadakan yang
mungkin ada menjadi ada. Sedangkan pengada adalah hasil atau produk dari
mengada itu sendiri. Oleh karena itu, pendidikan tidak cukup hanya menilai dari
hasilnya saja, melainkan juga memperhatikan proses yang dilalui oleh peserta
didik dalam menggapai ilmu pengetahuan. Dengan begitu, peserta didik dapat
dicegah dari tindakan plagiarisme dan diperoleh penilaian yang lebih
komperehensif dan utuh dalam menggambarkan pencapaian pemahaman peserta didik.
Selain itu, pendidikan yang juga menekankan proses, akan membentuk karakter
peserta didik yang menghormati aturan, menghargai perbedaan, dan menolak sikap
serba instan.
6. Penilaian yang
autentik
Implikasi
dari pendidikan yang tidak hanya berfokus kepada hasil tetapi juga proses
adalah adanya penilaian yang lebih komprehensif terhadap peserta didik.
Sehingga ujian tidaklah cukup menjadi penilaian bagi peserta didik, karena hal
tersebut hanya menggambarkan sebagian kecil proses perkembangan peserta didik.
Penilaian yang ideal adalah penilaian yang autentik yang mampu menggambarkan
proses perkembangan peserta didik. Hal tersebut dapat berbentuk portofolio,
penilaian kinerja, observasi dan lain sebagainya. Dengan penilaian yang
autentik, pendidik dapat memberikan evaluasi secara tepat dan menghindari sikap
determinis dan reduksionis yang negatif terhadap peserta didik.
7. Pembelajaran
berlandaskan konstruktivisme
Sumber
pengetahuan secara umum dapat berasal dari proses berpikir rasional atau logis
(rasionalisme), dari proses pengalaman dalam kehidupan sehari-hari (empirisme),
maupun dari intuisi yang merupakan bakat yang diberikan oleh Tuhan
(intuisionisme). Ketiga hal inilah yang menjadi landasan dalam membangun proses
pembelajaran yang efektif bagi peserta didik. Bahwa pada dasarnya peserta didik
memiliki potensi atau bekal dalam membangun pengetahuannya sendiri. Sehingga
yang perlu dilakukan oleh seorang pendidik adalah mengarahkan siswa untuk
beraktivitas secara langsung dengan menggunakan intuisi yang dimiliki dalam
menghadapi suatu isu pada kehidupan sehari-hari. Melalui pengalaman-pengalaman
itulah kemudian peserta didik mampu membangun pengetahuannya sendiri dan
menggunakannya untuk mengembangkannya lebih mendalam dan meluas. Inilah yang
dikenal dengan pembelajaran konstrutivisme. Di mana pendidik tidak mengambil
peranan yang dominan di kelas melainkan hanya sekedar menfasilitasi proses
belajar yang dperlukan peserta didik. Dengan demikian pembelajaran pun lebih
berpusat kepada peserta didik. Melalui pembelajaran konstruktivisme, peserta
didik merasakan bahwa pembelajarannya menjadi lebih bermakna karena mereka
terlibat secara aktif dalam menemukan pengetahuannya dalam konteks kehidupan
nyata. Selain itu, proses pembelajaran yang ideal juga mendorong siswa untuk
saling berkolaborasi antar peserta didik dalam membangun pengetahuannya. Karena
pengetahuan awal yang dimiliki oleh siswa masih bersifat subjektif. Sehingga
perlu proses diskusi kepada sehingga tercapai sebuah kesepakatan, yakni
pengetahuan yang objektif. Hal ini dikenal dengan konstruktivisme sosial.
8. Pembelajaran
yang inovatif
Peserta
didik adalah sosok yang dinamis, mengikuti arus perubahan yang ada disekitarnya.
Beberapa tahun yang lalu mungkin peserta didik masih tergagap-gagap dalam
menggunakan perangkat komputer. Namun kini peserta didik justru dengan lihai
menggunakan teknologi smartphone dan menggunakannya untuk memenuhi rasa ingin
tahu mereka tentang dunia. Hal ini tentunya menuntut pendidik untuk dapat
menyesuaikan diri dengan kondisi ruang dan waktu yang ada. Yakni pembelajaran
pun perlu dirancang sedemikian sehingga mampu memanfaatkan potensi peserta
didik serta mengantisipasi dampak buruk dari arus perubahan yang ada. Sehingga
inovasi dalam pembelajaran pun menjadi sebuah keharusan. Pembelajaran yang
tradisional pada tahun-tahun sebelumnya tidak lagi relevan bagi dunia peserta
didik saat ini. Meskipun hal tersebut tidak serta merta mengubah semua aspek
pembelajaran yang ada untuk diperbaharui. Namun yang perlu dipahami adalah
inovasi di dalam pembelajaran merupakan sebuah jawaban terhadap dinamika
kehidupan agar hal-hal yang prinsip dan substansial tetap tersampaikan dalam
proses pembelajaran. Dengan demikian pembelajaran inovatif adalah upaya
mengembangkan pembelajaran yang efektif dan efisien bagi peserta didik dalam
mencapai tujuan pendidikan. Pembelajaran inovatif dapat berupa pengembangan
suatu model pembelajaran, pengembangan penilaian, pengembangan alat peraga
hingga pengembangan soal.
9. Pendidikan yang
berlandaskan penelitian
Konsekuensi
dari pembelajaran yang selalui inovatif dalam menghadapi arus perubahan adalah
penelitian. Kelas adalah tempat belajar bagi peserta didik sekaligus
laboratorium bagi pendidik dalam menyelesaikan permasalahan dalam proses
belajara mengajar yang menghambat tercapainya tujuan pembelajaran. Oleh karena
itu penelitian merupakan aktivitas yang tidak dapat dipisahkan dari profesi
seorang pendidik. Melalui tahap penelitian, pendidik mampu mengevaluasi proses
belajar mengajar dan melakukan perbaikan demi perbaikan bahkan memberikan
masukan kepada pihak sekolah maupun pemegang kebijakan pendidikan tentang hasil
temuan penelitiannya dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan. Penelitian
yang umumnya dilakukan oleh peserta didik adalah penelitian tindakan kelas. Salah
satu bentuk implementasinya adalah melalui Lesson
Study. Lesson study adalah
aktivitas menyusun rencana pembelajaran melalui proses diskusi oleh sesama guru
mata pelajaran, lalu mengamati proses penerapannya, memberikan masukan dan
perbaikan, hingga akhirnya diperoleh sebuah rencana pembelajaran inovatif yang
menjadi referensi bagi pendidik dalam mengajar.
10. Pembelajaran
yang sesuai dengan kebutuhan siswa
Pembelajaran menjadi bermakna
bagi peserta didik ketika mereka mempelajari hal yang mereka butuhkan. Sehingga
pendidikan yang ideal adalah pendidikan yang mampu mengakomodir kebutuhan dan
rasa ingin tahu peserta didik akan ilmu pengetahuan. Hal ini tentunya
berimplikasi terhadap kurikulum yang akan diberlakukan. Yakni kurikulum yang
bersifat fleksibel, di mana terdapat ruang-ruang improvisasi bagi pendidik dan
peserta didik dalam mengembangkan bahan ajar yang sesuai dengan kebutuhan.
Dengan demikian proses membangun pengetahuan pun menjadi lebih bermakna tanpa
harus mengorbankan tujuan pendidikan yang telah dirancang.
11. Pembelajaran
dengan memanfaatkan kearifan lokal
Indonesia merupakan negara
dengan kekayaan suku, ras, bahasa dan budaya yang melimpah. Pola bilangan pada
budaya Jawa, permainan khas daerah, bentuk bangunan adat, dan lain sebagainya.
Hal ini merupakan aset yang berharga sekaligus saran yang efektif dalam
mengembangkan pembelajaran yang berbasis kearifan lokal. Dengan menerapkan
pembelajaran yang berbasis kearifan lokal, peserta didik dapat belajar secara
kontekstual dan merasa bangga dengan identitasnya sebagai bagian dari warga
negara Indonesia. Selain itu, pembelajaran berbasis kearifan lokal juga mampu
menjadi penangkal pemikiran dan budaya negatif yang berasal dari luar
Indonesia. Dengan demikian generasi muda Indonesia pun memiliki jati diri yang
kuat dalam menghadapi kontestasi Internasional.
12. Pembelajaran
yang sekaligus menanamkan nilai-nilai religius
Negara Indonesia adalah negara
yang religius sebagaimana yang dijelaskan pada sila pertama pada Pancasila.
Sehingga aspek spiritual menempati struktur paling tinggi dalam kehidupan
masyarakat Indonesia. Namun hal ini kian tergerus oleh pemikiran asing
(positivisme, liberalisme, hedonisme, pragmatisme dan sebagainya) yang justru
menempatkan aspek spiritual sebagai struktur terendah dan termarginalkan serta
menuhankan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam kehidupan modern seperti saat
ini. Oleh karena itu, perlu upaya menangkal pemikiran-pemikiran tersebut dengan
mengintegrasikan nilai-nilai religius dalam setiap proses pembelajaran. Hal ini
diimplementasikan dalam pendidikan karakter berupa aktivitas berdoa sebelum dan
setelah belajar, mengaitkan materi pembelajaran dengan kekuasaan Tuhan dan lain
sebagainya.
13. UN sebagai
sarana evaluasi, bukan penentu kelulusan
Satu
hal yang masih menjadi momok bagi peserta didik dan pendidikan Indonesia hari
ini adalah isu Ujian Nasional. Masih adanya persepsi bahwa Ujian Nasional
sebagai penentu utama kelulusan siswa setelah sekian tahun belajar berbagai
macam ilmu pengetahuan, mengakibatkan munculnya berbagai stigma negatif dan
mitos di kalangan masyarakat. Upaya kerjasama antara pihak sekolah dan guru
dalam meluluskan siswa karena merasa malu jika nilai UN sekolahnya rendah,
terjadinya kebocoran kunci jawaban, siswa yang gantung diri karena tidak lulus
ujian, dan lain sebagainya. Hal ini merupakan gambaran tentang dampak dari
diselenggarakannya UN dan ditetapkannya UN sebagai penentu kelulusan. Padahal
–sebagaimana yang telah disampaikan sebelumnya- Indonesia secara geografis dan
sosiologis sangat beragam, sehingga tidak relevan ketika menjadikan UN sebagai
satu-satunya penentu kelulusan siswa sedangkan pemerataan pendidikan belum
terwujud. Idealnya UN diposisikan sebagai evaluasi hasil belajar siswa pada
umumnya, sebagaimana ujian sekolah. Sehingga siswa tidak perlu takut menghadapi
ujian.
Demikianlah
poin-poin tentang konsep pendidikan ideal bagi Indonesia yang merupakan hasil
refleksi selama perkuliahan filsafat ilmu. Karena salah satu konsekuensi
berfilsafat adalah kita menjadi saksi bagi kehidupan yang ada di dunia. Karena
dengan berfilsafat wawasan berpikir kita menjadi lebih luas, sehingga menjadi
tanggungjawab kita untuk memberikan ide dan gagasan dalam membangun dunia ini
menjadi utuh, tak terkecuali pendidikan. Diharapkan dengan gagasan-gagasan ini,
pendidikan Indonesia menjadi lebih baik, berkarakter dan mampu mencetak
generasi bangsa yang memiliki jati diri bangsa yang kuat dan profesional.
0 komentar:
Posting Komentar