Aktualisasi Nilai-Nilai Nasionalisme dalam
Konteks Keindonesiaan
Umat
Islam sebagai mayoritas di Indonesia seharusnya turut serta bertanggungjawab
dalam mengemban amanah kenegarawanan ketika menghadapi permasalahan bangsa.
Khususnya saat semangat nasionalisme Indonesia mulai luntur dan miskin makna,
sehingga membutuhkan sebuah gagasan baru dalam mengisi kemerdekaan Indonesia.
Di sinilah peran muslim negarawan sebagai cermin umat Islam yang memiliki
mentalitas berbangsa dan bernegara untuk berkontribusi dalam membangunn negara
dan bangsanya.
Rasulullah
SAW sebagai sosok muslim negarawan telah memberikan teladan bagaimana seorang
muslim mampu mengaktualisasikan nilai-nilai nasionalisme dalam kehidupan
sehari-hari. Berikut karakteristik dari muslim negarawan dalam konteks
keindonesiaan Rijalul Imam (2008).
1. Memiliki
basis ideologi Islam yang mengakar
Jika
kita melihat isi dari Piagam Madinah, maka disimpulkan bahwa Rasulullah SAW
dalam membangun peradaban di Madinah berlandaskan ideologi Islam.Ideologi Islam
bukan hanya masalah ide, tetapi juga aqidah. Karena tauhid yang benar akan
menuntun manusia kepada keyakinan bahwa kebenaran hanya milik Allah SWT. Basis
ini menjadi penting mengingat kondisi bangsa Indonesia yang kian bergolak.
Sehingga agama tidak hanya sebagai alat pelengkap, tetapi juga menjadi semangat
perbaikan di masyarakat. Selain itu, Islam juga harus dijadukan sebagai titik
tolak berpikir dan bertindak dalam mewujudkan pembangunan nasional. Sehingga
loyalitas seorang muslim negarawan hanya ditujukan kepada Allah dan Rasul_nya.
Sedangkan bentuk loyalitas kepada pemimpin negara berbanding lurus dengan
loyalitas mereka dalam menegakkan ajaran Islam (Muchlis, 2012: 131).
Sebagaimana firman Allah SWT dalam surah an Nisa ayat 59,
Terjemah:
“Hai orang-orang
yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan ulil amri di antara kamu.
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah dan Rasul, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.
Yang dimikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa [4]: 59)
Oleh
karena itu, Rijalul Imam (2008: 73) menjelaskan bahwa setiap muslim harus
membekali diri dengan ilmu pengetahuan dasar Islam, ilmu alat Islam, wawasan
sejarah Islam , dan wacana keislaman. Sehingga setiap muslim mampu berpikir dan
memberikan solusi dalam perspektif Islam.
2. Memiliki
basis pengetahuan yang mapan
Meskipun
Rasulullah SAW merupakan seorang yang ummi, namun beliau dianugerahi kecerdasan
oleh Allah SWT. Dengan kecerdasannya, beliau berhasil mengeluarkan masyarakat
di Jazirah Arab dari kejahiliyahan menuju peradaban yang maju. Kebangkitan
bangsa Arab saat itu juga tidak terlepas dari perhatian Rasulullah SAW yang besar
terhadap ilmu pengetahuan. M. Syafi’i Antonio (2014: 6) menjelaskan bahwa sejak
awal gerakan Islam di Mekkah Rasulullah SAW telah menerapkan proses belajar
mengajar yang diiringi dengan institusi pendidikan seperti Dar al Arqam, masjid
dan suffah.
Sejatinya
seorang muslim negarawan harus lebih dari manusia umumnya dari sisi
intelektualitas dan wawasan. Taufiq Amrullah (2008: 120) menjelaskan bahwa
intelektualitas dapat dinilai dari kualifikasi akademis dan kepakarannya, serta
perhatiannya terhadap suatu masalah secara mendalam. Sedangkan wawasan menuntut
seseorang untuk mampu memahami berbagai hal dalam mengambil tindakan. Sehingga
dengan pengetahuan yang mapan seorang muslim negarawan mampu menyelesaikan
problematika umat dan bangsa secara profesional. Allah SWT berfirman dalam
surah ar Ra’du ayat 20-22,
Terjemah:
“(yaitu)
orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian. Dan
orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya
dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang
buruk. Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhannya, mendirikan
shalat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka, secara
sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan;
orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik).” (QS. Ar Ra’d
[13]: 22)
3. Idealis dan
konsisten
Idealis
dalam hal ini berarti menjadikan Islam sebagai solusi semua permasalahan
bangsa. Seorang muslim negarawan dalam berniat, berpikir dan bertindak harus berdasarkan
nilai-nilai ideal. Gagasan-gagasan ideal yang bergesekan dengan realita akan
menghasilkan perubahan-perubahan bagi bangsa dan negara. Oleh karena itu,
konsistensi diperlukan sebagai landasan dalam bergerak. Sikap idealis dan
konsisten ini merupakan hasil dari pondasi aqidah yang mendalam dan akhlak yang
kokoh. Allah SWT berfirman dalam surah Hud ayat 112,
Terjemah:
“Maka tetaplah
kamu di jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang
yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya
Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
(QS. Hud [11]:
112)
Peradaban
Islam yang maju di Madinah pun berasal dari idealisme dan konsistensi
Rasulullah SAW dalam beraktivitas dakwah. Bahkan ketika beliau mendapat tekanan
dari kaum kafir Quraisy baik secara fisik maupun mental, tidak sedikitpun
beliau berhenti melaksanakan aktivitas dakwah. Hingga akhirnya Islam pun
menyebar hingga ke seluruh Jazirah Arab.
4. Berkontribusi
dalam pemecahan masalah bangsa
M.
Syafi’i Antonio (2014: 304) menjelaskan bahwa tidak ada satu umat di dunia ini
yang lebih banyak permasalahannya daripada bangsa Arab di masa lalu. Banyak
unsur-unsur psikologis dan budaya yang membangkitkan permasalahan tersebut,
seperti fanatisme kesukuan, watak yang keras, ekonomi, perebutan wilayah dan
sebagainya. Namun Rasulullah SAW berhasil menyelesaikan masalah-masalah
tersebut secara baik bahkan gemilang sebagaimana yang telah dijelaskan
sebelumnya. Begitu pula umat Islam sebagai sebagai mayoritas di Indonesia harus
menjadi solusi terhadap permasalahan umat dan bangsa, bukan sebaliknya malah
menjadi beban negara.
Seorang
muslim negarawan harus terlibat aktif dalam proses-proses perubahan dan
kebijakan secara kreatif dalam upaya perbaikan, bukannya diam dan tidak peduli
dengan persoalan bangsa dan umat. Hal ini tentunya memerlukan wawasan
keindonesiaan yang luas dan mapan sehingga mampu memberikan solusi secara
praktis dan komprehensif. Rijalul Imam
(2008: 76) menjelaskan bahwa wawasan keindonesiaan yang dimaksud adalah
penguasaan cakrawala keindonesiaan, realita kebijakan publik, yang terpadu
dengan pengetahuan kepakaran.
5. Menjadi
perekat seluruh komponen bangsa dalam upaya perbaikan bangsa
Muslim
negarawan bukanah orang lain di tanah airnya, apalagi musuh bagi pihak
tertentu. Hal inilah yang ditunjukkan oleh Rasulullah SAW ketika menghimpun
seluruh elemen yang ada di Madinah untuk membuat konstitusi bersama yang
dikenal dengan Piagam Madinah. Muslim negarawan harus memainkan perannya sebagai
perekat komponen bangsa agar bersama-sama membanguun bangsa dan negara. Oleh
karena itu, seorang muslim negarawan dituntut untuk bergaul secara luas,
membangun jaringan, serta meletakkan ukhuwah secara proporsional. Allah SWT
berfirman dalam surah al Hujurat ayat 13,
Terjemah:
“Hai manusia,
sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah
ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Mengenal.”
(QS. Al Hujurat
[49]: 13)
Asy Syaukani
(Muchlis, 2012: 125) menjelaskan bahwa konsep ta’aruf pada ayat di atas pada
prinsipnya untuk menegakkan sikap saling menghormati dan menghargai antar
sesama. Ajaran ini merupakan ajaran yang universal. Hal ini ditunjukkan dari
redaksi “ya ayyuhan nas” meskipun ayat tersebut termasuk ayat termasuk kelompok
ayat Madaniyah. Dengan demikian, ajaran ta’aruf akan menembus batas-batas, ras,
golongan, suku, jenis kelamin, bahkan agama. Sehingga terciptalah ukhuwah Islamiyah
yang berarti terealisasinya nilai-nilai Islam dalam konteks persaudaraan, baik
seagama maupun tidak.
Demikianlah,
sosok muslim negarawan yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW merupakan jawaban
atas dikotomi antara Islam dan nasionalisme di Indonesia. Bahwa sejatinya
nasionalisme yang menumbuhkan rasa cinta tanah air, komunikasi yang harmonis, dan
kearifan dalam menyikapi perbedaan merupakan bagian dari ajaran Islam.
Karakteristik muslim negarawan itu antara lain memiliki basis ideologi Islam
yang mapan, pengetahuan yang mapan, idealis dan konsisten, berkontribusi
terhadap pemecahan masalah bangsa, serta menjadi perekat berbagai komponen
bangsa dalam upaya pembangunan nasional. Aktualisasi kelima karakter tersebut
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara akan mengokohkan bangunan kebangsaan
dan mewarnai semangat nasionalisme Indonesia.
Wallahu a’lam
bishshawwab.
0 komentar:
Posting Komentar